Saturday, November 27, 2010

PEMILIHAN KEPALA DAERAH


BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Dipilihnya sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung menandai pasangnya popularitas paradigma demokrasi partisipatoris dan sekaligus surutnya popularitas paradigma demokrasi representasi (demokrasi perWakilan) atau ‘kemenangan’ para penganjur demokrasi massa terhadap demokrasi elite, demikian pendapat Prihatmoko (2005 : 31). Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan sebuah produk kebijakan negara yang menjadi momentum politik besar yang saat ini dinilai dan diharapkan oleh Pemerintah dan seluruh bangsa Indonesia sebagai pilihan dan jalan yang tepat untuk menuju demokrasi daerah. Hal ini seiring dengan salah satu tujuan reformasi, yaitu untuk mewujudkan Indonesia yang lebih demokratis. Hal ini hanya bisa dicapai dengan mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat.

Selama ini, menurut Rozali Abdullah dalam Seminar Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang diselenggarakan oleh Wahana Bina Praja IPDN di Kampus Cilandak 24 Maret 2005, baik di masa orde baru, maupun di era reformasi, kedaulatan sepenuhnya berada di tangan lembaga-lembaga eksekutif dan legislatif maupun di tangan partai politik. Partai Politik melalui fraksi-fraksinya di MPR dan DPR, dapat melakukan apapun yang berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara, malahan dapat memberhentikan Presiden sebelum berakhirnya masa jabatannya. Pada tataran daerah, DPRD melalui pemungutan suara, dapat menjatuhkan Kepala Daerah sebelum berakhirnya masa jabatannya.

Jika melihat sejarah, ternyata format pemilihan Kepala Daerah pada masa berlakunya UU No.5 Tahun 1974 dan UU No.22 Tahun 1999 malah dianggap sebagai hambatan dalam proses demokratisasi Pemerintah Daerah. Pada era sentralisasi (masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974), setiap pemilihan Kepala Daerah, Pemerintah Pusat secara dominan menentukan siapa yang harus terpilih dan DPRD hanya melegitimasi calon yang sudah ditentukan. Jika DPRD mengambil keputusan yang berbeda dengan arahan Pemerintah Pusat maka akan diabaikan oleh Pemerintah Pusat karena Pemerintah Pusat tidak terikat dengan hasil pemilihan DPRD. Konsekuensinya, Kepala Daerah setiap tahun memberi pertanggungjawaban kepada Presiden dan Menteri Dalam Negeri, sedangkan kepada DPRD, Kepala Daerah hanya memberikan laporan saja. Hal ini berakibat seorang Kepala Daerah merasa memiliki tanggung jawab yang lebih besar kepada Pemerintah Pusat ketimbang kepada daerahnya sendiri.

Perubahan format pemerintahan daerah setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 telah mengakhiri pengaruh Pemerintah Pusat yang dominan, tetapi pemilihan Kepala Daerah dengan format pemilihan oleh DPRD justru menimbulkan banyak persoalan, seperti terjadinya politik uang dan konflik antar pendukung masing-masing calon. Pemilihan tidak langsung mengandung kontroversi, karena sering kali menghasilkan calon-calon terpilih yang tidak memiliki kapabilitas untuk memimpin Pemerintah Daerah, tidak popular dan tidak dapat diterima oleh masyarakat banyak.

Menurut Wasistiono (2003:120) permasalahan dalam pemilihan Kepala Daerah yang menggunakan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, sebagai berikut :

1. Terjadi politik uang didalam proses pemilihan Kepala Daerah meskipun sampai saat ini sulit untuk dibuktikan secara hukum. Masyarakat yang kecewa kemudian tidak percaya pada sistem yang ada;

2. Karena mengutamakan aspek dukungan politik (akseptabilitas) seringkali mengabaikan aspek kapabilitas. Hal tersebut tidak akan menjadi masalah seandainya ada dukungan birokrasi daerah yang netral dan profesional.

3. Partai politik yang memenangkan pemilu di suatu daerah karena kesalahan strategi kalah di dalam pemilihan Kepala Daerah tetapi tidak legawa menerima kekalahan. Mereka kemudian melakukan manuver politik untuk mengguncang kepemimpinan Kepala Daerah yang terpilih, yang pada akhirnya justru mengganggu stabilitas pemerintahan daerah sebagai kontra produktif terhadap Kepala Daerah ;

4. Di luar pemilihan Kepala Daerah, ditengarai juga adanya politik uang didalam penyusunan peraturan daerah serta laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah oleh DPRD, karena mereka mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding Kepala Daerah.

Berbagai persoalan sekitar pemilihan Kepala Daerah itu mendorong perlunya perubahan format pemilihan Kepala Daerah. Kelompok II Diskusi Praja IPDN dalam Diskusi Praja FKP IPDN pada tanggal 12 Desember 2004 mengungkapkan bahwa fakta sekitar pemilihan Kepala Daerah sebelum dan setelah UU No. 22 Tahun 1999, adalah kecenderungan proses pemilihan yang justru mematikan proses demokratisasi. Pada pemerintah yang sentralistik di bawah UU. No. 5 Tahun 1974, skenario pemilihan yang ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat telah menjadikan pemilihan Kepala Daerah hanya sekedar sandiwara. Distribusi kekuasaan yang lebih besar kepada daerah setelah UU. No. 22 Tahun 1999, telah memberi keleluasaan pada daerah atau kepada DPRD dalam proses rekrutmen Kepala Daerah. Proses rekrutmen yang bergeser itu ternyata tidak kondusif terhadap proses politik yang demokratis di daerah, tetapi praktek-praktek pemilihan yang terjadi justru semakin buruk, baik dilihat dari kualitas dan kapabilitas Kepala Daerah terpilih, dengan terutama praktek politik uang dalam proses pemilihan.

Bertolak dari pemikiran dan kenyataan tersebut maka perubahan format pemilihan Kepala Daerah melalui perubahan UU No. 22 Tahun 1999 adalah kebutuhan yang sangat mendesak. Perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD menjadi pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat.

Hal ini didukung Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (4) yang menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Arti demokratis bisa menimbulkan makna ganda, bisa dipilih langsung oleh rakyat serta bisa dipilih langsung oleh anggota legislatif sebagai Wakil rakyat. Namun dengan adanya revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 maka maksud dari dipilih secara demokratis adalah dipilih oleh rakyat.

Adanya perubahan fungsi legislatif yaitu dihapusnya fungsi memilih Kepala Daerah, tertuang dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2003 Tentang Susunan Dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, maka pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dilakukan oleh masyarakat.

Menurut Made Suwandi dalam paparan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (2004), selain hal-hal di atas, yang menjadi latar belakang dilaksanakannya pemilihan Kepala Daerah secara langsung adalah :

1. Pasal 6 A UUD 1945 yang menyebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Daerah sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam melaksanakan pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah seharusnya sinkron dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yaitu pemilihan langsung. Hal ini menyesuaikan dengan tatanan ketatanegaraan kita yang telah mengalami perubahan akibat amandemen UUD Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Kepala desa dipilih langsung oleh rakyat.

Pemilihan kepala desa (Pilkades) senantiasa dilakukan secara langsung oleh rakyat Indonesia di desa-desa sejak zaman kolonial hingga zaman UU No. 22 Tahun 1999. Bahkan pada masa orde baru pun dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa, pilkades telah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dalam banyak hal, pilkades secara langsung boleh dikata merupakan model pemilihan demokratis yang asli di Indonesia.

3. Money politics lebih sulit dilakukan.

Dalam pemilihan Kepala Daerah akan sulit untuk melakukan money politics dan kalaupun dipaksakan ongkos untuk memenangkan calon akan jauh lebih besar dibandingkan pemilihan melalui DPRD. Disamping itu, tidak juga terdapat jaminan pemilih yang dibagi uang akan memilih calon yang melakukan penyuapan tersebut.

4. Hubungan check and balances lebih baik.

Skenario format hubungan yang akan terjadi adalah sebagai berikut. Pertama, Kepala Daerah dipilih secara langsung dan ini berarti Kepala Daerah mendapatkan legitimasi secara penuh dari rakyat pemilih. Dengan kata lain akuntabilitas Kepala Daerah akan lebih kuat dibandingkan akuntabilitas DPRD. Akibatnya, akan terjadi shift titik berat kekuatan politik yang tadinya ke DPRD atau Legislatif Heavy menuju ke arah Eksekutif Heavy. Kedua, akan terjadi perubahan signifikan terhadap konstruksi Pemerintah Daerah yang ada sekarang. Harus terdapat kejelasan antara pejabat politik (Kepala Daerah dan DPRD) dengan pejabat karier. Ketiga, DPRD akan tetap mempunyai otoritas dalam bidang legislasi, anggaran dan kontrol. Maka diharapkan DPRD dalam menggunakan fungsinya secara efektif. Untuk menciptakan mekanisme check and balance maka rakyat sebagai stakeholders utama otonomi daerah harus digerakkan agar mampu menciptakan “pressures and supports” baik kepada DPRD maupun kepada Kepala Daerah melalui revitalisasi LSM, Forum Komunikasi, Organisasi Profesi yang berbasis profesionalisme.

5. Konstruksi Pemerintah Daerah sudah tidak kondusif lagi untuk menghadapi realitas persaingan.

Rakyat memilih DPRD namun tidak tahu siapa Wakilnya, tanggung jawab bersifat kolektif dan bukan individual, tidak jelasnya kinerja partai politik yang merancukan pendidikan politik, akuntabilitas ke rakyat yang tidak jelas, dan adanya kerancuan antara jabatan politik dan jabatan karir.

6. Kesaman sistem dengan di Pusat.

Selama berlakunya UU No. 22 Tahun 1999 sistem di daerah bersifat Parlementer sedangkan sistem di Pusat bersifat Presidentiil. Di mana seharusnya antara pusat dan daerah sama-sama menggunakan Sistem Presidentiil.

7. Lebih akuntabel kepada rakyat.

Pada Pasal 27 ayat (2) UU 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa Kepala Daerah mempunyai kewajiban menginformasikan laporan penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada masyarakat. Di dalam penjelasan Pasal tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan menginformasikan adalah memberi informasi melalui media yang tersedia di daerah dan dapat diakses oleh publik sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

8. Stabilitas politik yang lebih kuat.

DPRD tidak lagi bisa menjatuhkan Kepala Daerah hanya karena kinerja seorang Kepala Daerah melainkan dalam hal-hal tertentu saja sebagaimana yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan dorongan dan kenyataan serta berbagai argumen, maka muncullah sebuah solusi mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah. Solusi ini menghendaki adanya mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan pemilihan Kepala Daerah yang menggunakan dasar Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. Mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disempunakan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan secara teknis diatur dalam Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dituangkan pada bagian kedelapan tentang “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah” Pasal 56 sampai dengan Pasal 119 mulai paragraf kesatu tentang pemilihan sampai paragraf ketujuh tentang ketentuan pidana.

Melihat Pasal yang mengatur tentang pemilihan Kepala Daerah terlihat sangat rinci dan sangat jelas. Dari sini dapat kita lihat keinginan pemerintah untuk memperbaiki proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah selama ini. Harapan dari pemerintah, pemilihan Kepala Daerah secara langsung mampu mewujudkan demokrasi yang diinginkan.

Tetapi jalan menuju ke arah sebuah kebijakan yang baik bukanlah jalan mulus tanpa lubang. Implementasi, sebagaimana halnya dengan pelaksanaan kebijakan publik itu sendiri, melibatkan berbagai kepentingan dan memunculkan berbagai permasalahan. Hal ini dikarenakan sistem pemilihan Kepala Daerah secara langsung membawa implikasi yang cukup besar dalam kehidupan demokrasi di daerah dan juga format pemerintahan daerah.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk pertama kalinya telah dilaksanakan pada bulan Juni 2005 oleh beberapa Kabupaten dan Kota di Indonesia. Antusiasme masyarakat menyambut pilkada langsung dan kebingungan daerah mempersiapkan pesta demokrasi itu merupakan beberapa fenomena yang muncul. Selain itu, pembiayaan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah Langsung yang dinilai terlalu memberatkan daerah juga menjadi masalah yang perlu dicermati.

Sebagaimana diungkapkan oleh Muhadam Labolo (2004) dalam makalah “Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Prospek dan Tantangan dalam Masa Transisi di Indonesia” :

“Pemilihan Kepala Daerah Langsung secara umum akan menyerap dana yang tidak sedikit. Pertimbangan dilakukannya Pilkada Langsung dalam satu putaran tanpa alasan yang penting menunjukkan bahwa Pemerintah tidak memiliki dana yang cukup untuk membiayai proses Pilkada Langsung secara terus menerus. Pertanyaannya, dari mana dana harus diperoleh? Melihat realitas anggaran dewasa ini, tampaknya sekalipun Pemerintah masih menjamin pembiayaan dalam tahun anggaran 2005, namun Pemerintah pada akhirnya sangat terbatas ketika berhadapan dengan sejumlah agenda besar seperti rekonstruksi daerah korban Gempa dan Tsunami di Aceh dan Sumut. Jika demikian, maka jalan sementara adalah mengalokasikan biaya Pilkada Langsung melalui APBD. Ironisnya, anggaran APBD yang sangat terbatas mungkinkah dapat menanggulangi Pilkada Langsung? Sebagaimana hasil survei dari 278 Kabupaten/Kota ditemukan bahwa lebih dari 50% APBD hanya habis untuk membiayai operasional birokrasi (ongkos tukang baik eksekutif maupun legislatif) dalam melayani masyarakat”.

Selain masalah di atas, masalah-masalah yang terjadi dari proses persiapan sampai proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, diantaranya : terjadinya konflik elite dan konflik terbuka antar massa pendukung, masih terjadinya money politics, partisipasi politik masyarakat yang rendah dalam pemilihan Kepala Daerah, dan juga tentang kinerja KPUD yang dinilai kurang optimal dalam menjalankan tugas sebagai lembaga penyelenggara pemilihan Kepala Daerah secara langsung di daerah, serta masalah-masalah strategis yang lain, menjadi berbagai hal yang perlu dicermati dan dianalisis secara lebih mendalam agar dicapai suatu pemecahan untuk perbaikan ke depan.

Kabupaten Lamongan adalah salah satu di antara beberapa Kabupaten/Kota di Indonesia yang telah melaksanakan pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten Lamongan telah dilaksanakan pada tanggal 30 Juni 2005 yang telah menghasilkan Bupati Lamongan dan Wakil Bupati Lamongan terpilih yaitu : H. Masfuk, SH dan Drs. H. Tsalits Fahami, MM. Secara umum dapat dikatakan pemilihan Kepala Daerah di Kabupaten Lamongan berjalan dengan lancar dan sukses dimana semua pentahapan mulai dari masa persiapan sampai dengan tahapan pelaksanaan yang diselenggarakan oleh KPUD (Komisi Pemilihan Umum Kabupaten) Lamongan dapat dilaksanakan dengan baik tanpa adanya banyak hambatan atau permasalahan yang besar atau serius yang mengancam pelaksanaan atau keberlangsungan pemilihan Kepala Daerah. Akan tetapi mengingat penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Lamongan Tahun 2005 dengan mekanisme pemilihan langsung adalah yang pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Lamongan dan termasuk daerah yang menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung dalam masa transisi, yaitu pada bulan Juni dan Juli Tahun 2005 di Indonesia, maka secara teknis di lapangan masih terjadi berbagai permasalahan, termasuk pelanggaran dan sengketa Pilkada, yang dinilai menghambat dan bahkan mempengaruhi kualitas dari pemilihan Kepala Daerah tersebut.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sekretariat KPUD Lamongan dalam www.lamongan.go.id bahwa berbagai permasalahan tersebut diantaranya : ditemukannya tujuh anggota Panwascam yang bermasalah dan diragukan netralitasnya dalam Pilkada karena ikut tergabung dalam Tim Kampanye salah satu Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan, adanya kampanye terselubung yang dilakukan oleh Tim Kampanye dalam bentuk kegiatan-kegiatan keagamaan seperti yasinan dan istighosah dan dilakukan di tempat-tempat di luar ketentuan, adanya indikasi money politics yang sulit untuk dibuktikan karena berbagai dalih dari Tim Kampanye, kekurangan logistik Pilkada di beberapa Kecamatan yang tidak bisa dipenuhi oleh KPUD Kabupaten Lamongan karena terbatasnya biaya, munculnya posko-posko liar milik masing-masing calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat, molornya penyerahan DPT (Daftar Pemilih Tetap) oleh pihak Kecamatan kepada KPUD Lamongan, keresahan anggota PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan) di seluruh Kabupaten Lamongan karena belum menerima dana operasional dan honor anggota padahal sudah bekerja selama 3 bulan sehingga tidak bisa berkonsentrasi dalam bekerja, dan pada saat hari pemungutan suara tingkat ketidakhadiran pemilih yang mencapai 266.631 orang.

Sengketa antar Tim Kampanye juga turut mewarnai penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Lamongan. Hal ini sebagian besar disebabkan adanya tindakan dari salah satu Tim Kampanye yang tidak bisa diterima oleh Tim Kampanye yang lain karena dianggap telah merugikan kepentingannya. Selain itu penyelenggaraan Pilkada di Kabupaten Lamongan dari masa persiapan sampai tahapan pemungutan dan penghitungan suara yang hanya menggunakan waktu sekitar 4 bulan juga menjadi masalah bagi KPUD Kabupaten Lamongan untuk bisa melaksanakan tugasnya dengan baik dan optimal.

Oleh karena itu penulis ingin mengetahui secara detail dan teknis setiap proses pelaksanaan pentahapan dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Kabupaten Lamongan dari awal sampai akhir, dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 65, tahapan dari pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung terdiri dari dua tahapan yaitu masa persiapan dan tahapan pelaksanaan. Masa persiapan terdiri dari : pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakl Kepala Daerah, pembentukan Panitia Pengawas, PPK (Panitia Pemilihan Kecamatan, PPS (Panitia Panitia Pemungutan Suara) dan KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dan pemberitahuan dan pendaftaran Pemantau Pilkada.

Tahapan pelaksanaan terdiri dari penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan. Kedua tahapan tersebut dilakukan oleh KPUD dan DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota. Selain itu, penulis juga ingin mengetahui dan menelaah berbagai permasalahan yang terjadi selama proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Lamongan tersebut.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka penulis mengambil judul dalam Laporan Akhir ini adalah “Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Lamongan pada Tahun 2005“

1.2. Fokus Penelitian

1.2.1. Identifikasi Masalah

Memperhatikan uraian di atas, maka masalah dalam penelitian dapat diidentifikasikan sebagai berikut :

1. Masih terjadinya berbagai permasalahan teknis yang terjadi mulai dari masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Lamongan;

2. Masih terjadinya berbagai pelanggaran dan sengketa Pilkada dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Lamongan;

3. Masih terjadinya kecurangan pada pemilihan Kepala Daerah secara langsung di daerah-daerah lain selama ini, mulai dari praktek money politics, mencuri start kampanye, tindak kekerasan, pengaruh dewan pimpinan pusat suatu partai politik terhadap seorang calon Kepala Daerah, yang tidak menutup kemungkinan terjadi juga pada pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Lamongan yang lalu;

4. Dana atau anggaran yang dibutuhkan dalam pemilihan Kepala Daerah Langsung sangat besar sehingga masih memberatkan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, di tengah keharusan mengalokasikan dana untuk kebutuhan rutin pembelanjaan pegawai yang sangat tinggi;

5. Masih belum maksimalnya partisipasi para pemilih pada saat pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2005;

6. Masih belum optimalnya kinerja KPUD Kabupaten Lamongan dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2005.

1.2.2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan mengenai proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung pada Tahun 2005 dari mulai masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan yang menghasilkan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lamongan terpilih.

1.2.3. Perumusan Masalah

Rumusan masalah penelitian difokuskan kepada :

1. Bagaimana proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung mulai dari masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan?;

2. Apakah penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah?;

3. Permasalahan, pelanggaran, dan sengketa apa saja yang terjadi selama proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung dari mulai masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan?;

4. Apakah proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung berjalan murni dan bebas dari kecurangan?

1.3. Tujuan dan Kegunaan

1.3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian tentang penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung mulai dari masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan;

2. Untuk menganalisis penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

3. Untuk mengetahui permasalahan, pelanggaran, dan sengketa yang terjadi selama proses penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung dari mulai masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan;

4. Untuk menganalisis penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung, dari praktek-praktek kecurangan.

1.3.2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah :

1. Kegunaan Teoritis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama ilmu pemerintahan ;

2. Membandingkan pengetahuan secara teoritis dengan keadaan di lapangan.

2. Kegunaan Praktis

a. Laporan Akhir ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi Pemerintah Daerah sebagai bahan evaluasi atas pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan Tahun 2005 dan sebagai pembelajaran untuk pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan berikutnya yang akan dilaksanakan pada tahun 2010;

b. Laporan Akhir ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan kajian akademis bagi praja dalam proses pengajaran serta menambah wawasan mengenai aplikasi Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;

c. Laporan Akhir ini disusun sebagai prasyarat kelulusan program Diploma IV Praja Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri/Institut Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN/IPDN) serta diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan penulis dalam memahami proses Pemilihan Kepala Daerah secara langsung di Indonesia, khususnya di Kabupaten Lamongan.


BAB II

PENDEKATAN MASALAH

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung menurut Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 1 yaitu sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan atau Kabupaten atau Kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Dahl dalam Majalah Abdi Praja (2004:26) mengatakan “semakin banyak pejabat dipilih secara langsung; semakin baik demokrasi berjalan”. Demokrasi menurut asal katanya berarti “rakyat berkuasa”. Sehingga melalui demokrasi ini segala sesuatu ditentukan oleh rakyat sehingga penerimaan rakyat terhadap pejabat sangat representatif. Sehingga makna pemerintahan demokratis yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat dapat berjalan.

Dahl dalam Majalah Abdi Praja (2004:26) mengatakan bahwa urgensi pemilihan Kepala Daerah secara langsung mencakup hal-hal sebagai berikut :

1. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan pola pembelajaran politik warga negara dalam alam demokrasi ;

2. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan upaya mengeliminir arogansi Dewan PerWakilan Rakyat Daerah (legislatif) yang selama ini menganggap dirinya sebagai representasi rakyat secara penuh;

3. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan meningkatkan level legitimasi dalam menjalankan roda pemerintahan kedepannya;

4. Ketaatan masyarakat terhadap legitimasi pemerintahan merupakan prasyarat utama menuju terciptanya Good Governance;

5. Pemilihan Kepala Daerah secara gradual akan dapat mengurangi mekanisme money politics dalam arena kampanye seorang calon.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan sarana pembelajaran politik bagi masyarakat. Dengan adanya pemilihan secara langsung dapat kita ketahui pemahaman politik dari masyarakat tersebut, karena dengan pemilihan ini partisipasi masyarakat teruji. Dalam menyalurkan aspirasinya masyarakat sesuai dengan aspirasinya tanpa adanya pemaksaan. Dengan demikian masyarakat bebas untuk menentukan pilihannya.

Semua tahapan dari pemilihan akan dilaksanakan secara terbuka, sehingga praktek-praktek menyimpang seperti money politics, kekerasan serta pemboikotan yang terjadi pada masa pemilihan yang menggunakan mekanisme Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak akan terjadi. Sehingga hasil dari pemilihan secara langsung ini sesuai dengan aspirasi rakyat secara menyeluruh.

Maurice Duverger dalam Dedi Candra (2004:38) mengemukakan cara-cara untuk menunjuk para penguasa negara yaitu :

1. Perebutan kekuasaan;

2. Keturunan;

3. Kooptasi;

4. Undian;

5. Pemilihan.

Perebutan kekuasaan merupakan cara memperoleh kekuasan dengan menggunakan kekerasan. Cara ini sangat keras dan banyak pihak yang tidak menyetujuinya, namun dalam hal perebutan kekuasaan dan politik hal seperti ini sudah biasa dilakukan karena kepentingan yang abadi yang ada dalam politik dan perebutan kekuasaan. Cara melalui perebutan kekuasan ini banyak sekali variasinya, seperti yang diungkapkan oleh Moh. Tolchah Mansoer dalam tesis Dedi Candra (2004:38) :

1. Revolusi, cara perebutan kekuasaan yang didukung oleh rakyat. Terhadap cara ini perlu dikaji, apakah kekuatan tersebut murni didukung rakyat ataukah kekuatan tersebut memanipulasi kekuatan rakyat ;

2. Coup d’etat , suatu perebutan kekuasan yang didukung oleh sebagian pejabat pada kekuasaan lama dengan tujuan menggulingkan kekuasaan lama dan menggantikannya;

3. Pronunciamento, adalah coup d’etat dengan menggunakan kekuatan militer

Sistem keturunan merupakan cara yang dilakukan dengan menunjuk pengganti dari penguasa namun masih ada hubungan kerabat atau keturunan dari penguasa tersebut. Cara ini biasanya diturunkan kepada putra dari penguasa. Cara seperti ini dilakukan pada kerajaan. Indonesia masih menggunakan cara seperti ini, umumnya cara ini dilakukan pada kesultanan Jogja dan Solo.

Kooptasi merupakan cara penggantian penguasa dengan penunjukan oleh penguasa yang masih berkuasa. Penunjukan ini tidak berdasarkan pada kekerabatan namun lebih pada kepercayaan serta kedekatan seseorang terhadap penguasa.

Pemilihan merupakan cara pergantian penguasa yang dinilai sangat tepat bagi perkembangan bangsa Indonesia. Dengan cara ini semua unsur terlibat. Demokrasi benar-benar berjalan sehingga hasil dari cara ini dapat dipertanggungjawabkan. Cara ini oleh bangsa Indonesia telah diterapkan sudah lama. Bangsa Indonesia menggunakan cara ini umumnya pada pemilihan Kepala Daerah maupun negara serta legislatif.

Walaupun dalam prakteknya masih banyak sekali penyimpangan yang terjadi dalam proses pemilihan kepala negara maupun daerah serta legislatif. Praktek money politics, kekerasan serta pemboikotan sering mewarnai proses ini. Banyak kepentingan yang bersarang dalam proses ini pada era yang lalu.

Saat ini Negara Indonesia sedang menapaki babak baru dalam demokrasi yaitu pemilihan eksekutif dan legislatif secara langsung. Hal ini sebenarnya sudah dilakukan di Indonesia terutama dilakukan pada pemerintahan desa. Namun implementasi di tingkat nasional dan daerah baru saja bergulir yang ditandai dengan pemilihan eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden) dan legislatif secara langsung. Hal ini merupakan sejarah baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Merupakan tuntutan Masyarakat Indonesia yang menginginkan daerah memikirkan nasib mereka sendiri dalam era otonomi daerah seperti saat ini.

Untuk mengetahui bahwa proses pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan perwujudan dari nilai-nilai demokrasi maka menurut Bingham Powell, Jr, dalam Susilo Utomo, seminar ; 1989 dalam Wasistiono (1993:84) maka terdapat lima indikator yaitu :

1. Adanya legitimasi pemerintah berdasarkan atas klaim bahwa pemerintah tersebut meWakili keinginan rakyatnya. Artinya klaim pemerintah untuk patuh kepada aturan hukum didasarkan pada asumsi bahwa apa yang dilakukannya merupakan aspirasi rakyat;

2. Adanya pengaturan yang mengorganisasikan “bargaining” untuk memperoleh legitimasi yang dilaksanakan dengan pemilihan yang kompetitif. Pemilihan dilakukan dengan tenggang waktu yang diatur dan pemilih dapat memilih diantara beberapa calon alternatif;

3. Sebagian besar warga yang telah dewasa dapat ikut serta dalam proses pemilihan, baik sebagai pemilih maupun sebagai kandidat untuk menduduki jabatan penting;

4. Penduduk bebas memilih dan dilakukan secara rahasia;

5. Setiap orang memiliki hak yang sama dalam menikmati hak-hak dasar, seperti kebebasan berbicara, berkumpul, berorganisasi dan kebebasan pers.

Era otonomi daerah menuntut daerah untuk lebih mandiri, memilih pemimpinnya sendiri dan dapat mengelola potensi daerahnya masing-masing. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya tergantung pada pemilihan eksekutuf dan legislatif secara langsung. Pemilihan kepala eksekutif (Gubernur, Bupati/Walikota) serta anggota legislatif lokal secara langsung merupakan kunci keberhasilan otonomi daerah. Tanpa itu, amanat desentralisasi berupa berbagai kewenangan dari pusat (politik, administrasi, fiskal dan ekonomi) kepada daerah pada pelaksanaannya hanya berupa desentralisasi KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) kepada daerah. Dalam memilih Kepala Daerah, menurut Wasistiono (2003:118) menyatakan bahwa :

Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan didalam memilih pemimpin pemerintahan yang kemudian diharapkan akan menjadi pemimpin, yakni : kapabilitas, akseptabilitas dan kompabilitas. Kapabilitas adalah gambaran kemampuan diri pemimpin baik intelektual maupun formal, yang dapat dilihat dari catatan jejak (track record) pendidikannya maupun jejak sikap dan perilakunya selama ini. Pemimpin yang baik tidak akan muncul secara tiba-tiba. Akseptabilitas adalah gambaran tingkat penerimaan pengikut terhadap kehadiran pemimpin. Kompabilitas dimaksudkan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan dari pemerintah tingkat bawahannya maupun tuntutan dari pada pengikutnya.

Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah secara langsung membawa konsekuensi logis terhadap sistem pertanggungjawabannya. Apabila selama ini Kepala Daerah dipilih oleh DPRD dan pertanggungjawabannya kepada DPRD, maka Kepala Daerah yang dipilih oleh rakyat maka pertanggungjawabannya kepada rakyat. Wasistiono dalam makalah seminar tentang pemerintahan desa masa sekarang dan masa mendatang berpendapat : “mereka yang dipilih bertanggung jawab pada yang memilih”. Maka seorang Kepala Daerah tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD melainkan kepada konstituennya. Konstituen dalam hal ini yaitu masyarakat atau rakyat yang memilihnya. Sehingga dengan demikian fungsi dari DPRD mengalami perubahan. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 DPRD melakukan fungsi budgeting, fungsi controlling serta memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, namun dengan perkembangan serta tuntutan masyarakat maka DPRD tidak memiliki kewenangann untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

DPRD seyogyanya bisa membantu eksekutif dalam menyusun kebijakan sebaik mungkin. Untuk itu diperlukan dialog segitiga antara masyarakat, DPRD dan Bupati/Walikota. Pendapat Arintoko yang dimuat dalam www.elgi.or.id menyatakan :

1. Anggota dewan harus paham benar tentang keadaan Kabupaten/Kotamadya;

2. Rapat dewan tidak hanya mengkritik kebijakan yang telah lalu tetapi juga mengevaluasi kebijakan yang akan datang;

3. Dewan perlu secara proaktif mencari informasi yang berkualitas mengenai pembangunan di daerah seperti kualitas pelayanan, pandangan masyarakat, masalah strategis serta organisatoris pemda. Informasi harus diterima secara berkala tidak hanya saat akan rapat saja;

4. Pembangkitan pemahaman tentang ‘nilai uang’ atau value for money atas gaji yang diterima oleh anggota DPRD yang sebenarnya setara dengan gaji manajer senior perusahaan di kota besar.

Dengan hal-hal tersebut di atas diharapkan akan tercipta hubungan yang ideal yang bersifat konstruktif antara legislatif dan eksekutif dalam penyelenggaraan pemerintahan di tingkat lokal.

2.1.2. Kelebihan Dan Kelemahan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Pada sistem atau mekanisme ini ada kelebihan dan kelemahannya. Wasistiono (2003:122) berpendapat bahwa kelebihan dan kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung sebagai berikut :

Kelebihan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :

1. Demokrasi langsung akan dapat dijalankan secara lebih baik, sehingga makna kedaulatan ditangan rakyat akan nampak secara nyata;

2. Akan diperoleh kepala daerah yang mendapat dukungan luas dari rakyat sehingga memiliki legitimasi yang kuat. Pemerintah Daerah akan kuat karena tidak mudah diguncang oleh DPRD;

3. Melalui pemilihan Kepala Daerah secara langsung, suara rakyat menjadi sangat berharga. Dengan demikian kepentingan rakyat memperoleh perhatian yang lebih besar oleh siapapun yang berkeinginan mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah;

4. Permainan politik uang akan dapat dikurangi karena tidak mungkin menyuap lebih dari setengah jumlah pemilih untuk memenangkan pemilihan Kepala Daerah.

Kelemahan pemilihan Kepala Daerah secara langsung :

1. Memerlukan biaya yang besar karena calon Kepala Daerah harus kampanye langsung menghadapi rakyat pemilih, baik secara fisik (door to door) maupun melalui media masa. Hanya calon yang memiliki cadangan dana yang besar atau didukung oleh sponsor saja yang mungkin akan ikut maju ke pemilihan Kepala Daerah;

2. Mengutamakan figur publik (public figure) atau aspek akseptabilitas saja, tetapi kurang memperhatikan kapabilitasnya untuk memimpin organisasi maupun masyarakat;

3. Kemungkinan akan terjadi konflik horisontal antar pendukung apabila kematangan politik rakyat di suatu daerah belum cukup matang. Pada masa lalu, rakyat sudah terbiasa dengan menang-kalah dalam berbagai pemilihan. Tetapi pada masa orde baru pemilihan Kepala Daerah penuh dengan rekayasa, sehingga sampai saat ini rakyat masih belum percaya (distrust) pada sistem yang ada;

4. Kemungkinan kelompok minoritas baik dilihat dari segi agama, suku, ras, maupun golongan akan tersisih dalam percaturan politik, apabila dalam kampanye faktor-faktor primordial itu yang lebih ditonjolkan.

Sedangkan menurut Kertapradja dalam Djohermansyah Djohan dan Made Suwandi (2005 :1), terdapat kelebihan Dan kelemahan pada pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Adapun kelebihan dan kekurangan tersebut adalah sebagai berikut :

Kelebihan

1. Perkembangan proses demokrasi dalam rangka penegakan civil society dalam kehidupan masyarakat dan pemerintahan daerah akan meningkat, karena pemilihan Kepala Daerah secara langsung oleh rakyat akan membawa pengaruh secara transparan dan bertanggung jawab, sehingga akan membawa dampak kepada peningkatan pendidikan politik masyarakat ;

2. Partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan Kepala Daerah, baik dalam proses persiapan, maupun dalam pelaksanaan akan semakin meningkat. Rakyat akan lebih mengenal dan percaya kepada figur calon daripada kepada janji-janji partai politik ;

3. Kedekatan calon kepada masyarakat daerah dan penguasaan medan (geografi, demografi, SDA dan SDM) dan berbagai permasalahan dalam masyarakat, merupakan prasayarat mutlak yang harus dikuasai oleh calon ;

4. Pendayagunaan sumber daya (resource) yang dimiliki calon akan lebih efektif dan efisien, sebab komunikasi calon dengan masyarakat tidak difasilitasi oleh pihak ketiga, walaupun menggunakan kendaraan partai politik ;

5. Ketokohan figur calon sangat menentukan dibandingkan dengan kekuatan mesin politik Parpol, artinya besar kecilnya Parpol yang dijadikan kendaraan politik pencalonan tidak berkorelasi kuat terhadap keberhasilan seorang calon, seperti kasus SBY, walaupun didukung oleh partai kecil, namun figur dan image SBY yang berkembang dalam masyarakat sangat menentukan ;

6. Stabilitas pemerintahan daerah akan lebih terjamin, karena menurut konstruksi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD melalui pemilihan secara langsung ini,betul-betul kesempatan bagi masyarakat untuk menentukan pemimpinnya, memilih figur yang mereka kenal dan percayai sehingga dampak kredibilitas terhadap pemerintahan daerah, merupakan jaminan terhadap stabilitas penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) ;

7. Dampaknya terhadap hubungan kemitraan dan kesetaraan antara Kepala Daerah yang dipilih secara langsung dan DPRD yang juga dipilih secara langsung, adalah merupakan hubungan “kemitraan’ dan “kesetaraan” yang sebenarnya, dimana tidak memungkinkan lagi adanya potensi korupsi, kolusi dan nepotisme, serta rawannya “money politics” sebagai ajang untuk menjatuhkan Kepala Daerah ;

8. Meningkatkan gairah birokrasi pemerintahan daerah, karena adanya keleluasaan untuk mengambil keputusan, serta terbentuknya peluang karir yang lebih tinggi, melalui kompetensi profesional ;

9. Meningkatkan pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun DPRD, sehingga keinginan untuk mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, terpercaya dan akuntabel semakin sangat didambakan oleh masyarakat ;

10. Peranan DPRD sebagai badan legislasi, penganggaran dan badan pengawas kebijakan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, akan lebih menekankan kepada fungsinya sebagai badan legislasi, anggaran dan badan pengawas yang efektif, daripada memerankan ajang wahana politik dalam upaya menjatuhkan Kepala Daerah ;

11. Pemberian pelayanan umum kepada masyarakat akan semakin meningkat , baik kualitas maupun kuantitas, sejalan dengan meningkatnya tuntutan dari masyarakat akan pelayanan yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menimbulkan “keterpercayaan” kepada masyarakat ;

12. Munculnya semangat kedaerahan yang menjadi faktor pendorong yang kuat bagi pengembangan daerahnya, dalam arti peningkatan kredibilitas dan akuntabilitas.

Kelemahan

1. Dari tataran konsep dan implementasi, teori concurrent dalam menentukan urusan wajib dan pilihan yang menjadi kewenangan daerah, dikhawatirkan akanmenimbulkan duplikasi kewenangan, membias keatas menjadi model piramid terbalik, dan terjadi kevakuman dalam penyelenggaraan pemerintahan, karena sikap jurisdiksi politik dan negatif, terutama sikap juridiksi negatif ;

2. Kemungkinan munculnya konflik kepentingan antara pusat dan daerah propinsi dan antar daerah propinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah yang berkaitan dengan pendayagunaan sumber daya alam, seperti sumber daya air, hutan, lautan, lingkungan hidup dan lain sebagainya, terutama dalam hal menentukan urusan wajib dan urusan pilihan ;

3. Secara organisatoris-manajerial tidak ada hubungan hierarki dan koordinasi antara KPUD Propinsi dan KPU Pusat serta KPUD Propinsi dan KPUD Kabupaten/Kota, yang dikhawatirkan akan menimbulkan kerawanan “kolusi” dan “money politics ” antara KPUD dan DPRD karena tidak ada sistem pengendalian dan pengawasan dari pusat ;

4. Dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung terbuka kemungkinan terjadinya kolusi dan money politics atau bentuk-bentuk semacamnya antara DPRD, KPUD dan Partai Politik, baik sebagai pendukung calon partai atau gabungan parpol, maupun sebagai kendaraan politik yang digunakan oleh calon perseorangan;

5. Sikap dan perilaku birokrasi pusat yang cederung untuk tetap mempertahankan statusquo, terutama dalam mempertahankan kewenangan pusat yang enggan menyerahkan kepada daerah (tidak transparan), khusunya sebagai akibat dalam mengaplikasikan teori concurrent ;

6. Mesin politik tidak akan berjalan maksimal, kecuali bagi calon yang didukung oleh parpol atau gabungan parpol sendiri. Kalau calon dari perseorangan maka jejaring kerja (network) harus diupayakan sendiri, karena mesin politik tidak hanya dipinjam sebagai kendaraan politik saja. Hal ini bisa difahami, karena intervensi parpol terhadap manajemen resources (logistic) calon yang diusungnya, hampir tidak ada ;

7. Sama halnya seperti dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 masih belum sinkronnya perUndang-Undangan sektoral pusat dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, sehingga para pejabat birokrasi departemen sektoral pusat masih berpegang kepada UU Sektoral yang bersangkutan, dan belum menyesuaikan dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ;

8. Demikian pula, sama dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 kemungkinan terjadinya multi-interprestasi, baik terhadap jiwa dan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 maupun terhadap Pasal-Pasal didalamnya yang tidak atau kurang jelas.

Apapun alasannya, pemilihan Kepala Daerah harus tetap terlaksana dan jauh lebih baik hasilnya dibandingkan pemilihan Kepala Daerah yang dilakukan oleh DPRD. Namun hal tersebut dapat terwujud apabila semua unsur berjalan untuk kepentingan bersama bukan untuk kepentingan individu. Baik dari masyarakat selaku subjek serta objek dari mekanisme ini dan pemerintah terutama KPUD harus bermain netral. Menurut Wasistiono (2003:123) mekanisme pemilihan Kepala Daerah dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan apabila :

1. Adanya kesadaran politik yang tinggi dari para pemain politik ­- baik para aktivis partai, simpatisan maupun massa yang diam - sehingga siap menerima kemenangan maupun kekalahan secara legawa. Sepanjang pemilihan dilakukan secara jujur dan terbuka ;

2. Adanya wawasan kebangsaan yang kuat dari para pemain politik sehingga tidak hanya mengejar kemenangan sesaat dengan mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa ;

3. Adanya peraturan perUndang-Undangan yang secara jelas dan mudah mengatur tentang tatacara pemilihan Kepala Daerah secara langsung, sehingga tidak menimbulkan penafsiran ganda sesuai kepentingan masing-masing.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung merupakan cara yang digunakan untuk menutup lubang-lubang permasalahan pemilihan Kepala Daerah yang menggunakan dasar Undang - Undang Nomor 22 Tahun 1999, adapun permasalahan tersebut diantaranya : money politics, ijazah palsu, masalah kisruhnya proses pemilihan, tertundanya pelantikan calon terpiilih, dan masih banyak yang lainnya. Untuk menjawab itu maka Made Suwandi (2005:15) berargumen :

Money politics

Dalam pemilihan Kepala Daerah akan sulit untuk melakukan money politics dan kalaupun dipaksakan ongkos untuk memenangkan calon akan jauh lebih besar dibandingkan pemilihan melalui DPRD. Di samping itu, tidak juga terdapat jaminan pemilih yang dibagi uang akan memilih calon yang melakukan penyuapan tersebut ;

Hubungan check and balances

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan dapat meningkatkan legitimasi politik Kepala Daerah dalam memimpin pemerintahan daerah dan sekaligus menciptakan check and balances dalam hubungannya dengan DPRD. Namun kalau Kepala Daerah terlalu kuat akan menciptakan “power shift” ke arah “eksekutif heavy”. Untuk itu pemberdayaan DPRD dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan keseimbangan antara eksekutif dan legislatif daerah;

Penguatan DPRD

Ada beberapa pemikiran strategis dalam upaya pemberdayaan DPRD yaitu peningkatan hubungan DPRD dengan masyarakat, peningkatan akuntabilitas DPRD dan Kepala Daerah dan penilaian didasarkan atas pengukuran kinerja.

Sedangkan Irman Gusman dalam Seminar Pemilihan Kepala Daerah Langsung yang diselenggarakan oleh Wahana Bina Praja IPDN di Kampus Cilandak 24 Maret 2005, berpendapat :

“Pilkada Langsung dapat diberdayakan dalam mengakomodasi pendelegasian wewenang. Menurut beliau, bila kebijakan otonomi daerah yang berlangsung setengah dasawarsa ini tidak dibarengi dengan peningkatan partisipasi masyarakat seperti Pilkada Langsung sesuai tuntutan alam demokrasi, maka praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama dalam bentuk lain seperti populernya istilah munculnya “raja-raja kecil” di daerah. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Dalam keadaan demikian, maka sesuai dengan dalil Lord Acton bahwa ‘power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely’, timbul kekhawatiran bahwa iklim p-enindasan dan praktek-praktek kezaliman yang anti demokrasi serta praktek-praktek pelanggaran hukum dan penyalahgunaan wewenang yang pernah terjadi di tingkat Pusat justru ikut beralih ke dalam praktek pemerintahan di daerah-daerah di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, Pilkada Langsung haruslah dipahami esensinya juga mencakup pengertian penguatan kewenangan (otonomi) masyarakat di daerah-daerah dalam berhadapan dengan pemerintahan di daerah”

Melalui argumen-argumen tersebut diharapkan pemilihan Kepala Daerah dapat mengatasi permasalahan pemilihan Kepala Daerah yang menggunakan dasar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999.

2.1.3. Persyaratan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Kepemimpinan menurut Ahmadi (1999:123) menyatakan bahwa “kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan dari seseorang untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut”. Sedangkan menurut John Ptiffner dalam Ahmadi (1999:123) menyatakan bahwa “kepemimpinan merupakan seni dalam mengkoordinasikan dan mengarahkan individu atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan yang dikehendaki”.

Ada beberapa faktor yang menjadikan seseorang menjadi pemimpin. Masing-masing saling berbeda tergantung dari karakteristik daripada kelompok yang dipimpinnya. Tujuan kelompok itu sendiri mempunyai andil yang besar terhadap “pemimpin seperti apa” yang paling tepat untuk mencapai tujuan kelompok itu. Di samping itu masih perlu dipertimbangkan hal-hal lain yang berkitan dengan tepatnya antara kelompok yang dipimpin dan pemimpin sendiri. Namun demikian, pedoman yang sifatnya umum yang dapat dipakai untuk menentukan factor-faktor untuk seorang pemimpin.

Menurut William Foote Whyte dalam Ahmadi (1999:129) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) faktor yang menentukan seorang menjadi pemimpin :

1. Operational leadership

Orang yang paling banyak inisiatif, dapat menarik dan dinamis, menunjukkan pengabdian yang tulus, serta menunjukkan prestasi kerja yang baik dalam kelompoknya;

2. Popularity

Orang yang banyak dikenal mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk menjadi pemimpin;

3. The assumed representative

Orang yang dapat meWakili kelompoknya mempunyai kesempatan besar untuk menjadi pemimpin;

4. The prominent talent

Seseorang yang memiliki bakat kecakapan yang menonjol dalam kelompoknya mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin.

Pada umumnya tugas pemimpin adalah mengusahakan agar kelompok yang dipimpinnya dapat merealisasi tujuannya dengan sebaik-baiknya dalam kerja sama yang produktif. Oleh karena anggota-anggota kelompok itu, walaupun mempunyai tujuan yang sama, namun mereka berbeda-beda penglihatannya mengenai keadaan-keadaan kelompok dan mengenai tugasnya masing-masing. Maka pemimpin harus bisa mengintegrasi pengihatan-penglihatan anggota kelompok tersebut baik mengenai situasi didalam dan diluar kelompok, sehingga dapat diterima semua anggota kelompok yang bersangkutan.

Selain itu harus bisa mengawasi tingkah laku dan anggota-anggota kelompok berdasarkan patokan bersama yang telah ia rumuskan. Dan pula harus dapat menyadari dan merasakan kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan dan cita-cita anggota kelompoknya serta meWakilinya ke dalam maupun ke luar kelompoknya.

Oleh Floyd Ruch dalam Ahmadi (1999:131) ketiga tugas tersebut di atas dirumuskan sebagai berikut :

1. Structuring he situation

Memberikan struktur yang jelas pada situasi-situasi

2. Controlling group behavior

Mengawasi tingkah laku kelompok

3. Spokesman of the group

Pembicaraan dari kelompok

Kepemimpinan itu suatu kepribadian, merupakan watak yang membutuhkan bakat seseorang, jadi menyentuh keseluruhan susunan kompleks dan dinamis daripada kualitas-kualitas yang terdapat pada seseorang, maka sukarlah untuk menyebutkan satu persatu sifat-sifat yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

Menurut Ahmadi (1999:133) beberapa sifat-sifat pemimpin diantaranya :

1.Cakap

Disini bukan saja ahli (skill) atau kemahiran teknik (technical mastery) dalam suatu bidang tertentu, tetapi meliputi hal-hal yang bersifat abstrak, inisiatif, konsepsi perencanaan dan sebagainya;

2. Kepercayaan

Menurut Le Bon, seorang pemimpin harus memiliki keyakinan yang kuat, percaya akan kebenaran tujuannya, percaya akan kemampuannya;

3. Rasa Tanggung Jawab

Sifat ini penting sekali, sebab manakala seorang pemimpin tidak memiliki rasa tanggung jawab ia akan mudah bertindak sewenang-wenang terhadap kelompoknya;

4. Berani

Berani dalam arti karena benar dan dengan perhitungan/ lebih-lebih dalam saat-saat yang kritis dan menentukan, pemimpin harus tegas, berani mengambil keputusan dengan konsekuen dan tidak boleh ragu-ragu;

5. Tangkas Dan Ulet

Seorang pemimpin harus dapat bertindak cepat dan tepat. Ia harus tangkas dalam bertindak lebih-lebih jika menghadapi masalah yang rumit. Kegagalan tidak boleh menjadikan ia cepat bosan atau putus asa, tapi sebaliknya ia harus gigih dan ulet;

6. Berpandangan Jauh

Pemikiran seorang pemimpin harus luas. Ia berpandangan jauh kedepan harus dapat membedakan mana das sein mana das sollen. Terutama dalam merumuskan strategi atau menggariskan sesuatu taktik, hal ini adalah sangat penting

7. Serta masih banyak lagi sifat yang harus dimiliki oleh pemimpin , misalnya:teliti,lapang dada dan takwa.

Untuk menjawab tantangan jaman dan untuk mewujudkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah perlu ditingkatkan dengan lebih memperhatikan aspek-aspek hubungan antar unsur pemerintahan dan antar pemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global, maka diperlukan sebuah Kepala Daerah yang handal. Untuk mewujudkan itu maka diperlukan sebuah persyaratan dari seorang Kepala Daerah. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 persyaratan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah sebagai berikut :

1. Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa ;

2. Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar 1945, cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945 dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia;

3. Berpendidikan sekurang-kurangnya sekolah lanjutan tingkat atas dan atau sederajat;

4. Berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun;

5. Sehat jasmani dan rohani berdasarkan pemeriksaan kesehatan menyeluruh dari tim dokter;

6. Tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima ) tahun atau lebih;

7. Tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

8. Mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat di daerahnya;

9. Menyerahkan daftar kekayaan pribadi dan bersedia untuk diumumkan;

10. Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan atau secara badan hukum yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan negara;

11. Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;

12. Tidak pernah melakukan perbuatan tercela;

13. Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atau bagi yang belum mempunyai NPWP wajib mempunyai bukti pembayaran pajak;

14. Menyerahkan daftar riwayat hidup lengkap yang memuat antara lain riwayat pendidikan dan pekerjaan serta keluarga kandung, suami atau istri

15. Belum pernah menjabat sebagai Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah selama 2 (dua) kali masa jabatan yang sama dan;

16. Tidak dalam status sebagai penjabat Kepala Daerah.

Dalam persyaratan seorang Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah seperti yang tersebut di atas terdapat syarat-syarat yang normatif dimana tidak ada ukuran atau indikator dalam mengukurnya. Hal ini merupakan celah yang dapat menimbulkan konflik horisontal antar masyarakat maupun antar calon Kepala Daerah.

Menurut J. Kaloh (2003:44) kriteria yang tertera dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tersebut, terlihat 4 (empat) kriteria pokok yang dijabarkan ke dalam item pernyataan sebagai berikut :

Kriteria Pertama

Seorang Kepala Daerah harus memiliki sikap dasar yaitu sikap tidak dapat ditawar-tawar lagi, menurut Pamudji (dalam J. Kaloh 2003:44) yaitu : taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia dan taat kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, setia dan taat kepada negara dan pemerintah. Sikap dasar ini cenderung pada kriteria moral dan mental ideologi yang menjadi landasan bagi setiap pemimpin pemerintahan dalam memimpin organisasi pemerintahan;

Kriteria Kedua

Seorang Kepala Daerah harus mempunyai sifat-sifat tertentu yang dijabarkan dalam persyaratan yaitu : rasa pengabdian terhadap nusa dan bangsa, berwibawa, jujur, adil. Ditinjau dari teori kepemimpinan, persyaratan ini dikategorikan pada sifat-sifat;

Kriteria Ketiga

Seorang Kepala Daerah harus memiliki latar belakang individual yaitu faktor-faktor bawaan yang dijabarkan dalam : sehat jasmani, umur sekurang-kurangnya tiga puluh tahun, jenjang pendidikan sekurang-kurangnya SLTA, tidak dicabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan pasti.

Kriteria keempat

Seorang Kepala Daerah harus memiliki kualitas yang dijabarkan dalam persyaratan : cerdas, berkemampuan dan terampil.

Dengan adanya persyaratan bagi calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah diharapkan nantinya akan melahirkan seorang Kepala Daerah yang sesuai dengan aspirasi masyarakat dan dapat menjadi tauladan bagi yang dipimpinnya sehingga bisa meningkatkan kinerja pemerintahan daerah saat ini.

2.1.4. Pentahapan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 65 maka tahapan dari pemilihan Kepala Daerah secara langsung terdiri dari dua tahapan yaitu masa persiapan dan tahapan pelaksanaan. Masa persiapan terdiri dari : pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah, perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS, dan KPPS dan pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

Tahapan pelaksanaan terdiri dari penetapan daftar pemilih, pendaftaran dan penetapan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kampanye, pemungutan suara, penghitungan suara dan penetapan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, pengesahan dan pelantikan.

Kedua tahapan tersebut dilakukan oleh KPUD dan DPRD. Adapun tugas dan wewenang KPUD dalam penyelenggaraan pilkada menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 66 ayat (1) yaitu :

Merencanakan penyelenggaraan pilkada, menetapkan tata cara pelaksanaan pilkada sesuai dengan tahapan yang diatur oleh UU, mengkoordinasikan, menyelenggarakan dan mengendalikan semua tahapan pelaksanaan pilkada, menetapkan tanggal dan tata cara pelaksanaan kampanye serta pemungutan suara pilkada, meneliti persyaratan partai politik dan gabungan parti politik yang mengusulkan calon, meneliti persyaratan calon, menetapkan pasangan calon yang telah memenuhi syarat dan menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan suara dan mengumumkan hasil pilkada.

Sedangkan wewenang DPRD dalam penyelenggaraan pilkada menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 66 ayat (3) yaitu :

Memberitahukan kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatan, mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berakhir masa jabatannya serta mengusulkan pengangkatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih, melakukan pengawasan pada semua tahapan pelaksanaan pemilihan, membentuk panwas, meminta pertanggungjawaban pelaksanaan KPUD dan menyelenggarakan rapat paripurna untuk menyampaikan visi, misi dan program dari pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Menurut Dirjen Otonomi Daerah dalam paparan tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (2004) pentahapan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tersebut dapat dilaksanakan selama 180 hari terhitung dari Bulan Juni 2005, seperti tabel di bawah ini :

Tabel 2.2. Pentahapan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

No.

Tahapan

Jumlah Hari

1

2

3

MASA PERSIAPAN

1.

Pemberitahuan DPRD kepada KDH mengenai berakhirnya masa jabatan KDH

7 hari

2.

Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan KDH

3.

Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pilkada

30 hari

4.

Pembentukan panitai pengawas, PPK, PPS dan KPPS

5.

Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau oleh KPUD

TAHAP PELAKSANAAN

1.

Penetapan daftar pemilih

30 hari

2.

Pendaftaran dan penetapan calon meliputi (i) pendaftaran;(ii) penelitian;(iii) melengkapi syarat;(iv) penelitian ulang; (v)pengumuman pasangan masing-masing 7 hari

masing-masing 7 hari

3.

Persiapan pelaksanaan kampanye

7 hari

4.

Kampanye

14 hari

5.

Persiapan pelaksanaan pemungutan suara

3 hari

6.

Pemungutan suara

1 hari

7.

Penghitungan suara

30 hari

8.

Penetapan pasangan calon terpilih

3 hari

9.

Pengusulan pasangan calon terpilih

3 hari

10.

Pengesahan

30 hari

11.

Pelantikan

7 hari

12.

Kemungkinan ada masalah/sengketa

10 hari

Sumber : Paparan DirJen Otda Tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Tahun 2004)

Total jumlah hari untuk melaksankan semua pentahapan itu adalah 180 hari dimana untuk teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah. Tahapan pemilihan Kepala Daerah secara langsung dimulai dari masa persiapan dan tahapan pelaksanaan. Tahapan persipan diawali dari pemberitahuan DPRD kepada Kepala Daerah mengenai berakhirnya masa jabatannya dan pemberitahuan kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah. Kedua kegiatan ini berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 2 ayat (4) dilakukan secara tertulis sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah. Dengan pemberitahuan kepada Kepala Daerah maka Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah dan menyampaikan laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD paling lambat tiga puluh hari setelah pemberitahuan DPRD. Ketentuan ini tertuang dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 3 ayat (1).

Berdasarkan pemberitahuan kepada KPUD dari DPRD tentang berakhirnya masa jabatan Kepala Daerah maka KPUD menetapkan perencanaan penyelenggaraan, meliputi penetapan tata cara dan jadwal tahapan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah, pembentukan PPK,PPS dan KPPS dan pemberitahuan dan pendaftaran pemantau. Hal ini sesuai dengan PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 3 ayat (2). Kegiatan tersebut dilakukan dan yang bertanggung jawab adalah KPUD yang ditetapkan berdasarkan keputusan KPUD dan disampaikan kepada DPRD dan Kepala Daerah selambatnya empat belas hari setelah pemberitahuan DPRD. Ketentuan ini tertuang dalan PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 3 ayat (3). Panitia pengawas pemilihan dibentuk dan bertanggung jawab kepada DPRD dengan keputusan pimpinan DPRD. Hal ini diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2005 Pasal 105 ayat (1), adapun tugas dari pengawas pemilihan diatur dalam Pasal 108 ayat (1). Adapun tugas pengawas yaitu mengawasi semua tahapan penyelenggaraan pemilihan, menerima laporan peraturan perundang-undangan, menyelesaikan sengketa yang timbul dalam penyelenggaraan pemilihan, meneruskan temuan dan laporan yang tidak dapat diselesaikan kepada instansi yang berwenang dan mengatur hubungan koordinasi antar panitia pengawas pada semua tingkatan. Sedangkan untuk unsur pemantau pemilihan dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat dan badan hukum dalam negeri bersifat independent dan mempunyai sumber dana yang jelas. Pemantau pemilihan harus mendaftarkan dan memperoleh akreditasi dari KPUD. Ketentuan tersebut diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 115.

Tahapan pelaksanaan diawali dengan pelaksanaan penetapan daftar pemilih. Pada tahapan ini terdapat 4 (empat) tahapan yang terdiri dari pemutakhiran data pemilih, penyusunan daftar pemilih, pengumuman daftar pemilih sementara dan penetapan dan pengumuman daftar pemilih tetap (DPT). Syarat Warga Negara yang memiliki hak pilih yaitu Warga Negara Indonesia yang saat pemilihan sudah berumur tujuh belas tahun, hal ini diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 15. Selain itu terdapat persyaratan yang lain yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 16 ayat (2) yaitu nyata-nyata tidak sedang terganggu jiwa atau ingatannya, tidak sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai ketentuan hukum tetap dan berdomisili di daerah pemilihan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sebelum disahkannya daftar pemilih sementara yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk. Kemudian diberikan tanda pendaftaran.

Daftar pemilih yang digunakan pada pemilihan umum terakhir di daerah digunakan sebagai daftar untuk pemilihan kemudian dimutakhirkan dan divalidasi ditambah dengan daftar pemilih tambahan untuk digunakan sebagai bahan penyusunan daftar pemilih sementara. Hal ini diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2005 Pasal 19. Daftar pemilih sementara diumumkan oleh masing-masing PPS di tempat yang mudah dijangkau. Selama daftar itu terpampang maka masyarakat boleh mengajukan perbaikan mengenai identitas mereka. Dari perbaikan yang dilakukan oleh masyarakat maka petugas melakukan pembaruan data, kemudian petugas memberikan kartu tanda bukti terdaftar kepada masyarakat yang melakukan pembetulan. Kartu tanda bukti terdaftar ditukarkan dengan kartu pemilih setelah daftar pemilih tetap disahkan oleh PPS. Daftar pemilih sementara dan daftar pemilih yang sudah diperbaharui diumumkan menjadi daftar pemilih tetap oleh PPS.

Pendaftaran dan penetapan calon. Tahapan ini merupakan salah satu tahapan yang dapat menimbulkan kecurangan, seperti money politics dan pengaruh dewan pimpinan pusat suatu partai politik berupa rekomendasi partai politik kepada calon Kepala Daerah. Pendaftaran bakal calon kepala dan Wakil Kepala Daerah kepada partai politik terkadang dimanfaatkan partai politik untuk mencari uang pendaftaran. Uang pendaftaran ini berdalih untuk administrasi padahal tidak ada dalam aturan perundang-undangnnya. Dewan pimpinan pusat suatu partai politik terkadang memberikan rekomendasi bagi bakal calon kepala dan Wakil Kepala Daerah tertentu. Rekomendasi ini dilatarbelakangi bahwa bakal calon merupakan kader partai atau orang yang dekat dengan partai. Kondisi ini mengakibatkan bakal calon yang tidak dekat dengan partai politik atau bukan kader namun dekat dengan masyarakat sulit untuk mengajukan sebagai calon. Dengan demikian dominasi dari partai politik masih terjadi dan perlu adanya peraturan yang tegas untuk hal ini.

Peserta pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pasangan calon yang diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memenuhi persyaratan perolehan sekurang-kurangnya 15 % dari jumlah kursi DPRD atau 15 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Hal ini tertuang dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 36 ayat (2). Partai politik dan gabungan partai politik sebelum menetapkan pasangan calon wajib membuka kesempatan yang seluas-luasnya bagi bakal calon perseorangan yang memenuhi syarat untuk dilakukan penyaringan sebaga bakal calon. Proses ini dilakukan secara demokratis dan transparan sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam partai politik atau gabungan partai politik. Hal ini diatur dalam Pasal 37 PP Nomor 6 Tahun 2005.

Jika kita telaah lebih lanjut mengenai mekanisme ini maka mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah saat ini berbeda dengan mekanisme pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang lalu. Walau masih menggunakan kendaraan partai poltik dalam pencalonan namun melalui mekanisme PP Nomor 6 Tahun 2005 membuka peluang diluar partai politik untuk mencalonkan diri. Hal ini merupakan sedikit hawa segar bagi penyelenggaraan pemerintahan yang bersih terutama bagi terwujudnya Kepala Daerah yang benar-benar meWakili masyarakat. Karena pengajuan pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang melalui partai politik akan membawa pengaruh pada kinerja Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang terpilih nantinya dan disinilah terjadi tawar menawar antara partai politik dengan calon. Hal ini bisa terjadi jika aturan untuk menutupi hal itu tidak ada, selain itu jika pemikiran dewan saat ini masih menggunakan paradigma yang lalu.

Proses pendaftaran ini partai politik atau gabungan partai politik mendaftarkan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah kepada KPUD selama masa pendaftaran.pendaftaran ini disertai dengan administrasi yang telah ditentukan. Adapun administrasi sesuai dengan PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 38 ayat (2). Masa pendaftaran ini selama tujuh hari terhitung sejak pengumuman pendaftaran pasangan calon. Diatur dalam Pasal 41 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2005. Disaat pendaftaran KPUD mengadakan pemerikasaan terhadap berkas calon pasangan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam penelitian administrasi ini apabila ditemukan pasangan calon tidak memenuhi syarat maka partai politik atau gabungan partai politik tersebut diberikan kesempatan untuk mengajukan kembali pasangan yang baru. Namun apabila setelah diadakan pemeriksaan tidak memenuhi persyaratan maka partai politik atau gabungan partai politik tersebut tidak dapat mencalonkan kembali. Tahapan berikutnya yaitu penetapan dan pengumuman pasangan calon. Berdasarkan penelitian, KPUD menetapkan nama-nama pasangan calon minimal 2 (dua) pasangan calon yang dituangkan dalam berita acara penetapan calon. Hal ini dituangkan dalam PP Nomor 6 tahun 2005 Pasal 50 ayat (1). Penetapan pasangan calon ini diumumkan melalui media masa. Tahapan ini diteruskan dengan penentuan nomor urut pasangan calon pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Tahapan selanjutnya yaitu kampanye. Tahapan kampanye harus diatur secara adil antara setiap calon. Pengaturan yang berat sebelah akan menimbulkan konflik antar calon Kepala Daerah. kampanye di media masa harus diatur agar setiap kandidat memiliki akses yang berimbang dalam hal penayangan kampanye di media elektronik, ruang yang digunakan di media cetak maupun media kampanye lainnya.

Dalam kampanye media masa harus menunjukkan netralitasnya. Keberpihakan sebuah media masa terhadap salah satu pasangan calon Kepala Daerah akan mengakibatkan terbentuknya pola pikir masyarakat terhadap calon tersebut. Media massa sebagai media informasi harus memberikan berita yang sifatnya netral.

Kampanye pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan di daerah pemilihan. Di seluruh Propinsi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, wilayah Kabupaten atau Kota untuk pemilihan Bupati atau Wakil Bupati dan Walikota atau Wakil Walikota. Hal ini diatur dalam PP Nomor 6 tahun 2005 Pasal 54 ayat (2). Kampanye dilaksanakan oleh tim kampanye yang dibentuk oleh para calon. Kampanye ini dilakukan dalam waktu 14 hari dan berakhir 3 (tiga) hari sebelum pemungutan suara. Bentuk kampanye berdasarkan PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 56 berupa :

“Pertemuan terbatas, tatap muka dialog, penyebaran malalui media cetak dan media elektronik, penyiaran melalui radio dan atau televisi, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga di tempat umum, rapat umum, debat publik atau debat terbuka antar calon dan kegiatan lain yang tidak melanggar peraturan perUndang-Undangan”.

Adapun larangan dalam kampanye yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 60 yaitu :

“Mempersoalkan dasar Negara Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, menghina seseorang, agama, ras, golongan, calon Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah dan partai politik, menghasut atau mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat, menggunakan kekerasan, ancaman kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada perseorangan kellompok masyarakat dan atau partai pollitik, mengganggu keamanan, menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah dan Pemerintah Daerah, menggunakan tempat ibadah dan melakukan pawai atau arak-arakan yang dilakukan dengan berjalan kaki dan atau dengan kendaraan di jalan raya”

Pelanggaran terhadap bentuk kampanye yang telah ditetapkan maka mendapatkan sanksi sesuai dengan bentuk pelanggarannya. Apabila pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan hukum maka hal ini merupakan tindak pidana dan dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku. Namun jika pelanggaran yang dilakukan berkaitan dengan tata cara kampaye seperti melakukan pawai, merusak peraga calon yang lain, menggunakan tempat ibadah, hal ini akan dikenai sanksi dari KPUD.

Pemungutan suara diselenggarakan paling lambat tiga puluh hari sebelum masa jabatan Kepala Daerah berakhir. Pemungutan suara ini dilakukan dengan memberikan suara melalui surat suara yang berisi nomor, foto, dan nama pasangan calon. Dilakukan pada hari libur atau yang diliburkan. Pemungutan suara dilakukan di masing-masing TPS dan ditiap TPS terdiri dari 600 pemilih. Hal ini diatur dalam Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal I angka 1.

Penghitungan suara dilakukan dan selesai di TPS oleh KPPS dan dapat dihadiri oleh saksi pasangan calon, pengawas, pemantau dan warga masyarakat. Setelah selesai melaksanakan penghitungan suara maka petugas segera melakukan pembuatan berita acara.

Setelah semua tahapan pelaksanaan terselesaikan maka tahap selanjutnya menentukan pasangan calon terpilih. Pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari 50% jumlah suara sah ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih hal ini sesuai dengan ketentuan yang ada pada PP Nomor 6 tahun 2004 Pasal 95 ayat (1). Apabila ketentuan tersebut tidak terpenuhi maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara lebih dari 25% dari jumlah suara sah dinyatakan sebagai pasangan calon terpilih, hal ini sesuai dengan Pasal 95 ayat (2) PP Nomor 6 Tahun 2005. Dalam hal pasangan calon yang perolehan suara terbesar terdapat lebih dari satu pasangan calon yang perolehan suaranya sama, penentuan pasangan calon terpilih dilakukan berdasarkan wilayah perolehan suara yang lebih luas. Namun apabila tidak ada yang mencapai 25% dari jumlah suara sah, dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti oleh pemenang pertama dan kedua.

Tahapan berikutnya yaitu pengangkatan pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Apabila Gubernur dan Wakil Gubernur maka pengesahan pengangkatannya dilakukan oleh presiden selambat-lambatnya tiga puluh hari , sedangkan untuk Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota atau Wakil Walikota dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden selambatnya dalam waktu tiga puluh hari. Ketentuan ini terdapat dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 100. Untuk pelantikannya maka Gubernur dan Wakil Gubernur dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden sedangkan untuk Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota dilakukan oleh Gubernur atas nama Menteri Dalam Negeri.

Pembiayaan semua tahapan dalam pemilihan Kepala Daerah menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Pasal 112, menggunakan APBD. Sedangkan pembiayaan tahapan pemilihan Kepala Daerah menurut PP Nomor 6 Tahun 2005, menggunakan dana APBD dan APBN. Untuk merealisasikan itu maka Menteri dalam Negeri yaitu M. Ma’ruf menyatakan bahwa “untuk pilkada tiap propinsi yang melaksanakan pilkada secara langsung mendapat bantuan dari APBN sebesar Rp. 3 Miliar, sedangkan untuk kota atau kabupaten mendapat bantuan dari APBN sebesar Rp 1 Miliar. Adapun pertanggungjawaban penggunaan anggaran ini dilakukan oleh KPUD yang diatur dalam PP Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan PP Nomor 6 Tahun 2005 Pasal 1 angka 2.

2.1.5. Dampak Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Terhadap Aspek Politik dan Pemerintahan, Hukum, serta Sosial Ekonomi

Segala kebijakan yang diambil pasti menimbulkan akibat, baik itu akibat yang positif maupun akibat yang negatif. Positif ataupun negatiif kebijakan itu tergantung dari organ yang ada dalam sistem itu. Maksudnya organ itu lebih condong kepada akibat positif dalam menanggapi kebijakan itu ataukah organ itu menanggapi negatif terhadap kebijakan itu.

Hampir setiap kebijakan yang diambil oleh top manager pasti menimbulkan dampak positif maupun negatif bagi middle manager ataupun lower manager. Terlebih kebijakan yang diambil oleh pemerintah, karena kebijakan yang diambil oleh pemerintah menyangkut kepentingan rakyat. Hal ini sama dengan kebijakan pemerintah terhadap adanya pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Muncul pro dan kontra ataupun tanggapan positif dan negatif. Positif ataupun negatif suatu kebijakan tergantung kita ataupun organ yang ada dalam sistem itu dalam menyikapi kebijakan tersebut. Dampak pemilihan Kepala Daerah secara langsung terhadap aspek politik dan pemerintahan, hukum serta sosial ekonomi menurut pendapat Sadu Wasistiono (2005) dalam makalah yang disampaikan pada diskusi panel PPMP dan Alumnni Universitas Satyagama sebagai berikut :

A. Dampak Pada Aspek Politik dan Pemerintahan

1. Dampak Positif

a. Apabila pilkada secara langsung berjalan dengan sukses, maka kehidupan politik yang demokratis di daerah akan dapat dibangun secara bertahap dan berkesinambungan. Hal tersebut akan memberi andil besar bagi terbangunnya sistem politis demokratis secara nasional ;

b. Kepercayaan masyarakat pada pemerintah akan meningkat karena prinsip kedaulatan ditangan rakyat dapat diwujudkan secara faktual. Pemerintahan adalah bisnis kepercayaan dengan adanya kepercayaan dari masyarakat maka partisipasi akan lebih mudah digalang ;

c. Partai politik sebagai alat untuk mengembangkan demokrasi akan memperoleh simpati dari rakyat ;

d. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang dipilih langsung oleh pemilih akan memiliki legitimasi yang kuat, sehingga tidak mudah digoyahkan. Dengan pemerintahan yang stabil, tujuan sosial ekonomi dari desentralisasi yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat akan dapat diwujudkan secara bertahap ;

e. Akuntabilitas Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik administratif, yuridis, politis dan terutama moral akan disampaikan langsung kepada masyarakat. Dengan cara demikian ada dorongan yang kuat agar dana-dana publik yang dikelola oleh pemerintah sebagian besar dialokasikan kembali untuk kepentingan publik, bukan kepentingan birokrasi seperti yang selama ini terjadi ;

f. Karena merasa punya andil didalam menentukan pemimpinnya sendiri, daya kritis masyarakat terhadap Pemerintah Daerah akan semakin meningkat, sehingga makna pemerintahan demokratis yakni dari, oleh dan untuk rakyat betul-betul dapat diwujudkan ;

g. Apabila birokrasi pemerintahan bersifat netral - dalam arti tidak memihak atau terpaksa harus memihak salah satu kontestan pilkada – sehingga salah satu prinsip Negara demokrasi yakni : public service neutrality dapat diwujudkan, maka secara bertahap kita dapat membangun birokrasi yang professional. Indikasi kearah itu telah ada, antara lain dengan menempatkan sekertaris daerah sebagai Pembina PNS di daerahnya (Pasal 122 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) ataupun membangun organisasi fungsional bagi satuan polisi pamong praja (Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2004), menyusun Kamus Kompetensi Organisasi (KKO), Kamus Kompetensi Jabatan (KKJ), serta Kamus Kompetensi Individu (KKI) ;

h. Pada sisi lain Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih harus menempatkan birokrasi pemerintahan sebagai mesin pemberian pelayanan pada masyarakat, bukan sebagai bagian dari mesin politik mereka.

2. Dampak Negatif

a. Apabila pilkada secara langsung dilaksanakan secara tidak benar, tidak jujur dan penuh kecurangan, maka rakyat tidak akan percaya pada sistem yang ada, sehingga akan terbentuk sikap saling curiga, tidak percaya dan bahkan konflik antar pendukung. Untuk memulihkan kembali kehidupan masyarakat yang harmonis akan memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang cukup besar. Ini merupakan biaya sosial yang harus ditanggung oleh semua pihak apabila pilakada dilaksanakan secara tidak benar ;

b. Legitimasi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih akan terbatas, sehingga stabilitas pemerintahan akan mudah terganggu. Tanpa pemerintahan yang stabil, tidak akan ada investasi, yang pada gilirannya tidak tercipta lapangan pekerjaan baru :

c. Partai politik maupun tokoh yang bermain didalamnya akan kehilangan dukungan dari konstituennya ;

d. Apabila birokrasi bersifat tidak netral, baik karena kemauan sendiri ataupun karena keadaan yang memaksa, maka akan terjadi politisasi birokrasi, yang membuat iklim dan budaya organisasi menjadi tidak sehat karena akan terbentuk kelompok-kelompok yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Pengisian jabatan lebih didasarkan pada kedekatan ideologi politiknya bukan karena kapasitas seseorang. Hal semacam itu akan membawa dampak pada penggunaan dana publik yang lebih banyak didasarkan pada perhitungan politik daripada kepentingan publik secara meluas ;

e. Konflik pada tataran birokrasi secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada masyarakat, antara lain pelayanan menjadi tidak egaliter, masyarakat juga dengan mudah akan tersulut konflik oleh masalah yang sederhana. Kalau dalam masyarakat terus menerus terjadi konflik, jangan berharap akan dapat diperoleh kemajuan baik secara ekonomi, politik maupun sosial budaya.

B. Dampak Pada Aspek Hukum

1. Dampak Positif

a. Sama seperti pada pemilihan presiden, pilkada langsung penuh dengan aturan-aturan hukum. Apabila berbagai aturan hukum tersebut ditaati oleh semua pihak dan para penegak hukum menjalankan tugas dengan baik, momentum tersebut akan menjadi proses pembelajaran membangun masyarakat sadar hukum, sebagai sisi lain dari masyarakat demokratis. Demokrasi tanpa penegakan hukum hanya akan menciptakan anarki ;

b. Apabila penegak hukum bertindak tegas dan bersifat nonpartisan maka rakyat akan menghormati hukum itu sendiri maupun aparat yang menegakkannya.

2. Dampak Negatif

a. Apabila aturan hukum mengenai pelaksanaan pilkada tidak dijalankan dengan konsisten, maka masyarakat menjadi tidak percaya pada hukum, aparat hukum maupun hasil dari pilkada itu sendiri. Hal tersebut pada gilirannya akan menciptakan suasana penuh ketidakpercayaan (distrust). Menurut Fukuyama, untuk membangun sebuah negara yang maju diperlukan sebuah kepercayaan yang tinggi (high trust) ;

b. Apabila aturan hukum tidak dilaksanakan secara konsisten, masyarakat akan mempunyai catatan ingatan untuk pemilihan-pemilihan lainnya baik pemilihan presiden, maupun pemilihan Kepala Daerah pada tingkatan yang berbeda, sehingga akumulasi ketidakpercayaan pada sistem hukum akan terus meninggi, yang pada gilirannya akan menciptakan masyarakat yang anarkis.

C. Dampak Pada Aspek Sosial Ekonomi

1. Dampak Positif

a. Apabila pilkada berjalan dengan luber, maka kepercayaan publik pada sistem dan hasil pilkada akan meningkat, yang pada gilirannya akan meningkatkan legitimasi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah ;

b. Apabila Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih menyampaikan visi, misi dan strategi yang jelas dan terukur, maka sektor swasta akan masuk menanamkan investasi karena percaya akan adanya stabilitas politik pemerintahan serta kepastian hukum. Seperti dikatakan Anthony Gidden bahwa uang tidak mengenal nasioanalisme, ia akan mengalir ketempat yang paling menguntungkan. Oleh karena itu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih harus menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi, bukan menciptakan aturan yang menghambat atau menimbulkan beban baru.

2. Dampak Negatif

a. Biaya pilakada dibebankan sepenuhnya kepada APBD bersangkutan, apabila daerah tidak atau kurang mampu maka, Pemerintah Daerahnya akan mengurangi alokasi biaya untuk kepentingan masyarakat guna membiaya pilkada tersebut. Dengan perkataan lain, pilkada langsung biasa saja memberi dampak positif pada demokrasi tetapi dapat membawa dampak buruk pada perekonomian masyarakat daerah. Apalagi kalau Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terpilih tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat, sehingga biaya sosial yang harus ditanggung oleh masyarakat menjadi semakin besar ;

b. Apabila pilkada berjalan penuh konflik dan ketidakjujuran, maka stabilitas politik tidak akan tercipta yang pada gilirannya akan membawa dampak menurunnya minat investor untuk menanamkan modalnya di daerah bersangkutan, sehingga lapangan pekerjaan baru tidak tercipta serta potensi ekonomi masyarakat juga tidak meningkat. Hal tersebut akan menjadi lingkaran setan untuk keluar dari keterbelakangan.

2.2. Landasan Norma dan Kebijakan Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung

Pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah didasarkan kepada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945. Selain Pasal 1 ayat (2), yang menjadi dasar pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung yaitu Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang berbunyi Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala Pemerintahan Daerah Profinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.

Ketentuan dalam UUD 1945 akan dijabarkan ke dalam Undang- Undang sebagai penjelasan dari UUD 1945 tersebut. Untuk menjelaskan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (4) maka Pemerintah bersama dengan DPR membuat suatu Undang-Undang sebagai penjelasan dari pasal-pasal tersebut. Ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang ini selain sebagai penjelasan Pasal yang ada pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 18 ayat (4), juga sebagai penyempurnaan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang mengatur mengenai pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah terdapat pada Bab IV tentang penyelengaraan pemerintahan, bagian kedelapan tentang pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 sampai dengan 119 dimulai paragraf kesatu tentang pemilihan sampai dengan paragraf ketujuh tentang ketentuan pidana.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dijelaskan dalam PP Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam perkembangannya maka Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dan PP Nomor 6 tahun 2005, dilakukan perubahan. Adapun perubahan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 dirubah melalui Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 sedangkan untuk PP Nomor 6 Tahun 2005 dirubah melalui PP Nomor 17 Tahun 2005. Perubahan pada kedua produk hukum ini hanya beberapa pasal saja sehingga peraturan terdahulu masih berlaku.

Pemilihan Kepala Daerah dalam pelaksanaannya, KPUD dibantu oleh Pemerintah Daerah masing-masing. Hal ini diperkuat dengan keluarnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 tentang Pedoman bagi Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dikeluarkannya peraturan ini bertujuan agar Pemerintah Daerah mengambil langkah-langkah dan antisipasi mengenai keadaan penyelenggaraan pemerintahan, politik, keamanan dan memberikan fasilitasi pada tahap pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, agar pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dapat berjalan lancar. Sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005, Bab IV tentang Pengendalian, Pasal 6 ayat (1) yang berbunyi untuk pengendalian pelaksanaan pilkada dibentuk desk pilkada provinsi dan desk pilkada kabupaten atau kota. Desk pilkada sesuai dengan Pasal 6 ayat (2) mempunyai tugas melakukan pemantauan pelaksanaan pilkada di daerah, menginventarisasi dan mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan pelaksanaan pilkada, memberikan saran dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan pelaksanaan pilkada dan melaporkan informasi kepada pemerintah mengenai pelaksanaan pilkada.

Untuk memperlancar pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serta untuk memberikan pedoman kepada Pemerintah Daerah dalam memberikan fasilitasi pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah maka dikeluarkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-81 Tahun 2005 tentang Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Dalam keputusan ini setiap Gubernur dan Bupati atau Walikota agar memberikan fasilitasi dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan mengambil langkah-langkah seperti fasilitasi sosialisasi, teknisi, koordinasi dan pelaporan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Dalam pelaksanaan secara teknis maka KPUD mengambil inisiatif dan antisipatif mengenai aturan pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dengan menggunakan ketentuan saat pemilihan presiden dan Wakil presiden yang lalu. Sehingga semua ketentuan yang berkaitan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung mengadopsi Keputusan KPU saat pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang lalu. Pengambilan keputusan bahwa semua pentahapan didasarkan pada surat keputusan KPU hal ini dikarenakan terbatasnya waktu untuk mempersiapkan produk dalam tahapan pemilihan Kepala Daerah ini. Untuk lebih jelas terhadap penggunaan Keputusan KPU maka bisa kita lihat dalam tabel di bawah ini :

Tabel 2.3. Daftar Surat Keputusan KPU yang Digunakan Sebagai Acuan Dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

No.

Penjelasan

Nomor Surat Keputusan KPU

1

2

3

1.

Tahapan, Program Dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah

1. Keputusan KPU Nomor 638/2003 tentang Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004

2. Keputusan KPU Nomor 27 Tahun 2004 tentang Perubahan Terhadap Keputusan KPU Nomor 638 Tahun 2003

3. Keputusan KPU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perubahan terhadap Keputusan KPU Nomor 27 Tahun 2004

4. Keputusan KPU Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perubahan Terhadap Perubahan Keputusan KPU Nomor 33 Tahun 2004

2.

Organisasi dan Tata Kerja PPK,PPS dan KPPS

Keputusan KPU Nomor 172 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja PPK,PPS dan KPPS

3.

Pemantau Pemilihan Umum

1. Keputusan KPU Nomor 104 Tahun 2003 tentang Pemantau Pemilihan Umum dan Tata Cara Pemantau pemilihan Umum

2. Keputusan KPU Nomor 32 Tahun 2004 tentang tata Cara Menjadi Pemantau dan Pemantauan serta Pencabutan Hak sebagai Pemantau Presiden dan Wakil Presiden

4.

Pendaftaran Pemilih

1. Keputusan KPU Nomor 28 Tahun 2004 tentang tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Pemilih Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004

2. Surat KPU beserta lampirannya Nomor 696/15/IV/2004 tanggal 21 April 2004 perihal Juklak pendaftaran pemilih pemilu Presiden dan WaPres

5.

Pencalonan

1. Keputusan KPU Nomor 26 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pencalonan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004

2. Keputusan KPU nomor 31 tahun 2004 tentang Juknis Penilaian kemampuan rohanii dan Jasmani Pasangan Calon Presiden dan Wapres dalam Pemilu Presiden dan Wapres tahun 2004

6.

Kampanye

1. Keputusan KPU Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

2. Keputusan KPU Nomor 48 Tahun 2004 tentang Kampanye Pemilu Penajaman visi, misi dan Program Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004

1

2

3

7.

Pemungutan dan Penghitungan Suara

1. Keputusan KPU Nomor 37 tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di TPS

2. Keputusan KPU Nomor 46 tahun 2004 tentang Perubahan terhadap Keputusan KPU Nomor 37 Tahun 2004

3. Keputusan KPU Nomor 49 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemungutan dan Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di TPS sebagaimana diubah dengan keputusan KPU Nomor 46 tahun 2004

4. Keputusan KPU Nomor 38 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pelaksanaan Rekapitulasi Hsil Perolehan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh PPS, PPK KPU Kabupaten atau Kota, KPU Provinsi dan KPU

5. Keputusan KPU Nomor 47 Tahun 2004 tentang Perubahan Terhadap Keputusan KPU Nomor 38 Tahun 2004

8.

Penetapan Jumlah Pemilih

Keputusan KPU Nomor 39 tahun 2004 tentang Jumlah Pemilih dan Jumlah TPS dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004

9.

Alat Kelengkapan Administrasi

1. Keputusan KPU Nomor 34 Tahun 2004 tentang alat Kelengkapan Administrasi Untuk Pelaksanaan Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004

2. Keputusan KPU Nomor 43 tahun 2004 tentang Pengadaan Formulir dan Alat Kelengkapan Administrasi Pemungutan Suara dan Penghitungan Suara yang digunakan dalam pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004.

10.

Penetapan Pasangan Calon

1. Keputusan KPU Nomor 36 Tahun 2004 tentang Penetapan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004

2. Keputusan KPU Nomor 56/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Penetapan Nomor Urut Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden menjadi Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004

11.

Penetapan dan Pengumuman Hasil Rekapitulasi

1. Keputusan KPU Nomor 79/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Pentahapan dan pengumuman Hasil Rekapitulasi penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden

2. Keputusan KPU nomor 98/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Penetapan dan Pengumuman Hasil

1

2

3

Rekapitulasi Penghitungan Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua 2004

2.

Penetapan Kantor Akuntan Publik Untuk Mengaudit Laporan Dana Kampanye

Keputusan KPU Nomor 74/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Penetapan Kantor Akuntan Untuk Mengaudit Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilu Tahun 2004

13.

Penetapan Surat Suara

Keputusan KPU Nomor 83/SK/KPU/Tahun 2004 tentang Surat Suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Putaran Kedua Dalam Pemilu Tahun 2004

Sumber : Kebijakan KPU Dalam Pelaksanaan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian

Menurut Hamidi (2004:14) penelitian merupakan “aktivitas yang memerlukan proses berpikir dengan mengasah dan mengembangkan rasa ingin tahu”, sedangkan Nazir (1999:99) berpendapat “penelitian adalah suatu proses mencari sesuatu secara sistematik dalam waktu yang lama dengan menggunakan metode ilmiah serta aturan-aturan yang berlaku”.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif dengan pendekatan induktif. Metode ini bertujuan mempelajari masalah-masalah yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung di Kabupaten Lamongan serta tata cara dan situasi-situasi tertentu, termasuk tentang kegiatan-kegiatan, sikap-sikap, pandangan serta proses yang berlangsung dari proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan tersebut.

Menurut Sugiyono (2001:6), yang dimaksud dengan metode penelitian deskriptif adalah “metode penelitian yang dilakukan terhadap variabel mandiri yaitu tanpa membuat perbandingan atau menghubungkan dengan variabel lainnya”, sedangkan menurut Nazir (1999:63) metode deskriptif adalah “suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang”.

Menurut Hamidi (2004:14) menyatakan bahwa “penelitian kualitatif lebih menggunakan perspektif emik, peneliti dalam hal ini mengumpulkan data berupa cerita rinci dari para responden dan diungkapkan apa adanya sesuai dengan bahasa dan pandangan responden”.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan induktif sesuai dengan pendapat Moleong (2002:5) yang menyatakan bahwa “penelitian kualitatif menggunakan analisis data secara induktif”. Menurut Nazir (1999:202), pendekatan induktif adalah “cara berpikir untuk memberi alasan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan yang spesifik untuk menyusun suatu argumentasi yang bersifat umum”.

3.2. Populasi dan Sampel

3.2.1. Populasi

Pengertian populasi menurut Arikunto (2002:108) adalah “keseluruhan subjek penelitian”, sedangkan Sugiyono (2002:57) menyatakan “populasi adalah generalisasi yang terdiri dari subjek/objek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan”.

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah para pejabat dan anggota yang duduk di sejumlah instansi/lembaga yang terkait dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Kabupaten Lamongan Tahun 2005, meliputi : KPUD Kabupaten Lamongan, Panitia Pengawas Pilkada Kabupaten Lamongan, Panitia Khusus Pilkada DPRD Kabupaten Lamongan, dan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, dalam hal ini Desk Pilkada Kabupaten Lamongan, serta lembaga Pemantau Pilkada Kabupaten Lamongan. Sebagaimana dalam Undang - Undang No. 32 Tahun 2004 membagi kewenangan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah secara langsung kepada 3 (tiga) institusi, yaitu DPRD, KPUD, dan Pemerintah Daerah. DPRD kaitannya dengan anggaran Pilkada, pengesahan dan pelantikan pasangan calon terpilih, dan laporan Panwas Pilkada. KPUD berkaitan dengan teknis penyelenggaraan Pilkada. Desk Pilkada sebagai unsur dari Pemerintah Daerah dalam pengawasan penyelenggaraan pilkada. Sedangkan Panitia Pengawas Pilkaada Kabupaten Lamongan sebagai institusi pengawas dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung yang mengetahui secara teknis pelanggaran atau kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan serta Pemantau Pilkada Kabupaten Lamongan sebagai pemantau independen yang membantu pemantauan penyelenggaraan Pilkada.

Pengambilan data dan pengumpulan informasi diperoleh dari dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan pilkada dan wawancara dengan pihak-pihak yang menjadi kunci (key informan) dalam proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung.

3.2.2. Sampel

Menurut Sugiyono (2001:57) sampel adalah “sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut”. Sedangkan menurut Arikunto (2002:109) sampel adalah “sebagian dari populasi yang diamati”. Sampel merupakan Wakil atau bagian dari populasi dimana sampel ini mampu meWakili dari keseluruhan populasi yang diteliti.

Dalam penelitian ini pengambilan sampel dengan menggunakan teknik sampel bertujuan (purposive sample). Penulis menggunakan teknik sampel bertujuan (purposive sampling) untuk menentukan sampel dari populasi yang meliputi para pejabat dan anggota yang duduk di Pansus DPRD Lamongan, KPUD Lamongan, dan Desk Pilkada Lamongan, serta Panwaskab Lamongan. Teknik ini sesuai dengan pendapat Moleong (2002:165) yang menyatakan “penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan”. Menurut Arikunto (2002:117) “sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek bukan berdasarkan atas strata, random atau daerah tetapi berdasarkan adanya tujuan tertentu”. Maka dalam hal ini, penulis memilih sampel bagi orang perorangan yang berperan penting dalam penentuan kebijakan dan penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung. Berdasarkan teknik purposive sampling, maka yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah :

TABEL 3.1

RESPONDEN PENELITIAN LAPORAN AKHIR

No

Jabatan

Jumlah

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Ketua KPUD

Sekretaris KPUD

Kasubbag Teknis Pemilu dan Hukum KPUD

Kasubbag Penerangan Masyarakat dan Umum KPUD Ketua Panwaskab

Sekretaris Panwaskab

Ketua Pansus DPRD

Wakil Ketua I Desk Pilkada

Sekretaris Desk Pilkada

Ketua JPPR (Pemantau Pilkada)

1

1

1

1

1

1

1

1

1

1

TOTAL

10

3.3. Variabel Penelitian

Menurut Arikunto (2002:96), “variabel adalah objek penelitian atau apa yang menjadi titik perhatian suatu penelitian” dari pendapat tersebut maka penulis menentukan variabel dalam penulisan Laporan Akhir ini adalah penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Lamongan dengan sub variabel dan indikator yang disesuaikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel 3.2.

TABEL 3.2

VARIABEL PENELITIAN LAPORAN AKHIR

Variabel

Sub Variabel

Indikator

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah Langsung di Kabupaten Lamongan

1. Masa

Persiapan

2. Tahap Pelaksanaan

a. Pemberitahuan DPRD kepada KDH mengenai berakhirnya masa jabatan KDH.

b. Pemberitahuan DPRD kepada KPUD mengenai berakhirnya masa jabatan KDH

c. Perencanaan penyelenggaraan meliputi penetapan tatacara dan jadwal tahapan pilkada.

d. Pembentukan panitia pengawas, PPK, PPS, dan KPPS.

e. Pemberitahuan dan pendaftaran pemantau.

a. Penetapan daftar pemilih.

b. Pengumuman Pendaftaran dan Penetapan Calon

c. Kampanye

d. Masa Tenang

e. Pemungutan Suara

f. Penghitungan Suara

g. Penetapan Pasangan Calon Terpilih

h. Pengusulan Pasangan Calon Terpilih

i. Pengesahan

j. Pelantikan

Sumber : UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

3.4.1. Teknik Pengumpulan Data

Menurut Nazir (1999:211) pengumpulan data adalah “prosedur yang sistematik dan standar untuk memperoleh data yang diperlukan”. Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dengan cara :

1. Dokumentasi

Menurut Riduwan (2004:43) “dokumentasi adalah ditujukan untuk memperoleh data langsung dari tempat penelitian, meliputi buku-buku yang relevan, peraturan-peraturan, laporan kegiatan, foto-foto, film dokumenter dan data yang relevan dengan penelitian”. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data atau dokumen-dokumen resmi selama diselenggarakannya pilkada dari instansi-instansi yang terkait dalam penyelenggaraan pilkada di Kabupaten Lamongan, selain itu juga data mengenai peraturan perundang-undangan, buku literatur, makalah, berita melalui internet dan media masa serta kliping yang terkait dengan proses penyelenggaraan pilkada di Kabupaten Lamongan.

2. Wawancara

Menurut Nazir (1999:234) : “wawancara adalah proses memperoleh informasi dengan cara tanya jawab dan bertatap muka dengan resipien dan responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide”, sedangkan menurut Moleong (2002:135) “wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu”, dalam penelitian ini penulis melakukan tanya jawab secara langsung dengan menggunakan pedoman wawancara yang telah ditentukan oleh penulis dalam mencari keterangan yang berguna untuk penelitian, untuk pendalaman informasi yang diperoleh adakalanya penulis menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur dimana penulis melakukan proses wawancara secara langsung tanpa menggunakan pedoman wawancara. Dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah beberapa subjek informasi yang penulis anggap meWakili dan bisa memberikan informasi yang jelas serta sangat memahami permasalahan seputar penyelenggaraan pilkada langsung di Kabupaten Lamongan.

3.4.2. Sumber Data

Untuk memperoleh gambaran tentang suatu keadaan atau persoalan dan untuk membuat suatu keputusan atau memecahkan persoalan maka diperlukan sumber data. Menurut Arikunto (2002:107), yang dimaksud dengan sumber data adalah : “subyek dimana data dapat diperoleh”. Menurut Arikunto (2002:107) “sumber data diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu, person, place dan paper”. Dalam Laporan Akhir ini penulis mengambil dua sumber data yaitu :

1. Person, yaitu sumber data yang bisa memberikan data berupa jawaban lisan melalui wawancara. Dalam penelitian ini penulis mengambil sumber data yaitu : Ketua Pansus DPRD, Ketua KPUD, Sekretaris KPUD, Kasubbag Teknis Pemilu dan Hukum KPUD, Kasubbag Penerangan Masyarakat dan Umum KPUD, Ketua Desk Pilkada, Sekretaris Desk Pilkada, Ketua Panwaskab, Sekretaris Panwaskab.

2. Paper, yaitu sumber data yang menyajikan tanda-tanda berupa huruf, angka, gambar atau simbol-simbol lain, Arikunto (2002:107). Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data berupa : data atau dokumen-dokumen resmi selama diselenggarakannya pilkada dari instansi-instansi yang terkait dalam penyelenggaraan pilkada di Kabupaten Lamongan, termasuk arsip dan notulen sidang. Selain itu adalah peraturan perundang-undangan yang ada hubungan dengan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung, makalah mengenai pemilihan Kepala Daerah secara langsung, informasi berupa berita yang tertulis dalam Koran maupun dalam internet yang terkait dengan pilkada di Kabupaten Lamongan.

3.5. Teknik Analisis Data

Menurut Moleong (2004; 280) bahwa : “ analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data”.

Sedangkan menurut Nazir (1999:419) “analisis data adalah mengelompokkan, membuat suatu urutan, serta meningkatkan data sehingga mudah untuk dibaca”.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui analisis non-statistik, berdasarkan hasil studi dokumentasi dan wawancara terhadap pejabat yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisa induktif, yaitu analisa yang berpangkal dari kenyataan-kenyataan khusus sehingga menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum. Jadi semua data dan informasi yang diperoleh melalui sumber data dalam penelitian ini untuk kemudian diambil kesimpulan secara umum, hal ini sejalan dengan pendapat Hamidi (2004:3) yang menyatakan “penelitian bisa merupakan suatu aktivitas mewawancarai sejumlah orang, sehingga terungkap ide atau keinginan yang ada dibalik pernyataan dan aktivitas mereka”.

Untuk mendukung teknis analisa di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik triangulasi. Menurut Julia Brannen (2005:84) bahwa : ”logika triangulasi menjelaskan bahwa temuan-temuan dari satu jenis studi dapat dicek pada temuan-temuan yang diperoleh dari jenis studi yang lain. Misalnya, hasil-hasil penelitian kualitatif dapat dicek pada studi kuantitatif. Tujuannya secara umum adalah untuk memperkuat kesahihan temuan-temuan”. Penulis terlebih dahulu melakukan kegiatan dokumentasi terkait penyelenggaraan pilkada langsung di Kabupaten Lamongan. Setelah diperoleh data dan informasi seputar penyelenggaraan pilkada, maka kemudian dilakukan wawancara dengan responden yang dianggap meWakili dan memahami proses penyelenggaran pilkada di Kabupaten Lamongan yang bertujuan untuk mengkonfirmasi data dan informasi yang telah diperoleh sebelumnya, mencari informasi yang lebih detail, mencari pendapat dan saran terkait dengan permasalahan yang terjadi selama penyelenggaraan pemilihan langsung Bupati Lamongan. Selain itu penulis juga melakukan konfirmasi hasil wawancara antar responden apabila permasalahan yang terjadi melibatkan lebih dari satu pihak atau saling berkaitan. Setelah itu kemudian diambil suatu kesimpulan secara umum.

Adapun langkah-langkah dalam analisis data yang dilakukan penulis secara umum sebagaimana dikemukakan oleh Nasution (1996:129), adalah :

1. Reduksi Data

Data yang didapat dari lapangan masih berupa atau berbentuk uraian atau laporan terperinci yang pasti akan terasa sulit bila tidak direduksi, dirangkum hal-hal penting dicari polanya. Jadi laporan sebagai bahan mentah disingkat, direduksi lebih sistematis sehingga lebih mudah dikendalikan.

2. Display Data

Untuk dapat melihat secara keseluruhan pada bagian-bagian tertentu dari penelitian, dengan menggunakan tabel, grafik dan peta agar peneliti dapat menguasai data.

3. Pengambilan Keputusan Verifikasi

Penulis mencari makna data yang dikumpulkannya. Untuk itu penulis mencari pola, tema, kesamaan, hal-hal yang sering timbul, hipotesis dan lain sebagainya. Jadi data yang akan diperoleh, sejak mulanya diambil kesimpulan itu mula-mula masih relatif, kabur, diragukan, akan tetapi dengan bertambahnya data, kesimpulan itu menjadi lebih tepat dalam pemecahan dan penyelesaian cara bertindak. Jadi, jelaslah bahwa kesimpulan harus senantiasa diverifikasi selama penelitian berlangsung.

3.6. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini bertempat di Sekretariat 3.6.1. Tempat Penelitian

Penelitian ini bertempat di Sekretariat KPUD Lamongan sebagai institusi pelaksana teknis dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung.

3.6.2. Waktu Penelitian

Proses pengambilan data dalam proses pembuatan Laporan Akhir dimulai dari bulan November 2005, data awal tersebut digunakan sebagai bahan usulan penelitian dan untuk penyusunan instrumen penelitian kepada dosen pembimbing. Proses pengambilan dan pengolahan data selanjutnya dilakukan dalam proses magang di Sekretariat KPUD dan Panwaskab Lamongan, selama satu bulan terhitung mulai tanggal 9 Januari 2006 sampai dengan 9 Februari 2006. Setelah berakhirnya proses magang dari bulan Februari 2006 sampai dengan akhir bulan April 2006 penulis melakukan analisis data dan penulisan laporan akhir yang dibimbing oleh dosen pembimbing. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel 3.3.

TABEL 3.3

JADWAL PENELITIAN DAN PENYUSUNAN LAPORAN AKHIR TAHUN AKADEMIK 2005-2006

NO.

KEGIATAN

WAKTU KEGIATAN LAPORAN AKHIR

NOVEMBER

2005

DESEMBER

2005

JANUARI

2006

FEBRUARI

2006

MARET

2006

APRIL

2006

MEI

2006

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

2

3

4

1

PENYUSUNAN USULAN PENELITIAN

2

PENYUSUNAN INSTRUMEN PENELITIAN

3

PENGUMPULAN DATA

4

PENGOLAHAN DATA

5

ANALISIS

DATA

6

PENULISAN LAPORAN

7

PENYERAHAN LAPORAN

8

UJIAN KOMPREHENSIF

































Sumber : Kalender Akademik IPDN 2005-2006

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU - BUKU

Arikunto, Suharsimi.(2002).Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V).Rineka Cipta,Jakarta.

Ahmadi.(1999).Psikologi Sosial.Rineka Cipta.Jakarta

Brannen, Julia.(2005).Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.Pustaka Pelajar.Yogyakarta.

Djohan, Djohermansyah dan Made Suwandi.(2005).Pilkada Langsung : Pemikiran dan Peraturan.IIP Press.Jakarta.

Kaloh,J.(2003).Kepala Daerah.Gramedia Pustaka Utama.Jakarta.

Moleong,Lexy.(2004).Metode Penelitian Kualitatif.Remaja Rosda Karya.Bandung.

Nazir,Moh.(1998).Metode Penelitian.Ghalia Indonesia.Jakarta.

Prihatmoko, Joko J.(2005).Pemilihan Kepala Daerah Langsung.Pustaka Pelajar.Yogyakarta.

Riduwan.(2004).Statistika Untuk Lembaga Dan Instansi Pemerintahan Atau Swasta.Alfabeta.Bandung.

Sugiyono.(2003).Metode Penelitian Administrasi.Alfabeta.Bandung.

Wasistiono,Sadu.(1993).Kepala Desa Dan Dinamika Pemilihannya.Mekar Rahayu.Bandung.

B. TESIS DAN MAKALAH

Abdullah, Rozali. Manajemen Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam Pengembangan Demokrasi Lokal. Seminar Pilkada Langsung Wahana Bina Praja IPDN. Jakarta 24 Maret 2005.

Candra, Dedi. 2004 : “Studi Futuristik Tentang Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung Menurut Persepsi Masyarakat di Kabupaten Merangin Provinsi Jambi”.Program Pasca Sarjana MAPD, Jatinangor.

Gusman, Irman. Pemberdayaan Pemilihan Kepala Daerah Langsung dalam Mengakomodasi Pendelegasian Wewenang. Seminar Pilkada Langsung Wahana Bina Praja IPDN. Jakarta 24 Maret 2005.

Kelompok II Diskusi Praja. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung. Bahan Diskusi Praja FKP. Jakarta 12 Desember 2004.

Labolo, Muhadam. Pemilihan Kepala Daerah Langsung Prospek dan Tantangan dalam Masa Transisi di Indonesia. Makalah Lembaga Pengkajian Strategik Pemerintahan IIP. Jakarta 2004.

Paparan Dirjen Otda. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Wasistiono,Sadu. Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Dan Dampaknya Secara Politis, Hukum, Pemerintahan Serta Sosial Ekonomi. Bahan Diskusi Panel PPMP dan Alumni Universitas Satyagama. Indramayu 7 Februari 2005

Wasistiono,Sadu. Pemerintahan Desa Masa sekarang Dan Masa Mendatang (Prospek Pelaksanaan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan daerah). Seminar sehari dalam rangka praktek BKP Wasana Praja STPDN Tahun Akademik 2004/2005. Ciamis 27 Oktober 2004.

C. Media Massa

Majalah Abdi Praja Edisi 38, Desember Tahun 2004

D. Internet

http//www.elgi.or.id. Hubungan DPRD Dengan Kepala Daerah Dalam Konteks Pemilihan Langsung. 30 September 2004.

http//www.lamongan.go.id. KPUD Lamongan Tertibkan Posko Cabup dan Cawabup. Senin 18 April 2005.

E. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 3 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2005 Tentang Pedoman Bagi Pemerintah daerah Dalam Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah.

Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 120-81 Tentang Pedoman Fasilitasi Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

PEDOMAN WAWANCARA

A. Wawancara dengan Ketua KPUD dan Sekretaris KPUD Lamongan.

1) Bagaimana proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung mulai dari masa persiapan sampai dengan tahap pelaksanaan?

2) Apakah proses penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung berjalan dengan aman dan tertib?

3) Apakah proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah?

4) Apakah terjadi berbagai permasalahan dalam proses penyelenggaraan pilkada tersebut?Kalau ya, apa saja permasalahan yang terjadi?

5) Berapa besar dana untuk penyelenggaran pilkada di Lamongan? Dari mana saja sumber dananya?Tolong disebutkan perinciannya!

6) Apakah besarnya dana pilkada tersebut menjadi faktor penghambat dalam penyelenggaaraan pilkada?Mengapa?

7) Apakah dalam penyelenggaraan pilkada terjadi berbagai kecurangan?kalau ya, kecurangan apa saja yang terjadi?

8) Apakah masing-masing Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati peserta pilkada telah memenuhi prosedur atau persyaratan sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Lamongan?

9) Apa sebab terjadinya keterlambatan 7 (tujuh) Kecamatan dalam penyerahan DPT kepada KPUD Lamongan?Untuk ke depan, sebaiknya bagaimana?

10) Bagaimana mekanisme KPUD Lamongan apabila menemukan bukti adanya pelanggaran selama penyelenggaraan pilkada?

11) Apakah KPUD Lamongan bertindak tegas atas setiap pelanggaran yang terjadi selama penyelenggaraan pilkada?Tindakan tegas seperti apa?

12) Berapa besar dana operasional yang diterima oleh KPUD Lamongan?Jumlah tersebut apakah dinilai cukup untuk kegiatan operasional KPUD Lamongan?

13) Tindakan apa yang diambil oleh KPUD Lamongan apabila menemukan anggotanya tidak bersikap netral atau memihak salah satu calon dalam pilkada?

14) Anggota PPK resah dan tidak konsentrasi dalam bekerja karena dana operasional dan honor selama 3 bulan belum diterima, apa penyebabnya?Langkah apa yang diambil oleh KPUD Lamongan menindaklanjuti hal ini?

15) Apakah terjadi tindakan anarkis selama penyelenggaraan pilkada?Bagaimana strategi KPUD Lamongan dalam mengendalikan massa?

16) Bagaimana komentar Bapak atas aksi demo dari para aktivis PMII Lamongan yang pada intinya KPUD Lamongan dinilai kurang tegas dalam dalam menghadapi berbagai bentuk pelanggaran saat menjelang pilkada lalu?

17) Langkah apa yang diambil oleh KPUD Lamongan atas maraknya posko-posko liar masing-masing pendukung pasangan calon menjelang pilkada yan lalu?

18) Sudjiwiyono adalah oknum KPUD Lamongan yang bermasalah. Permasalahan apa dan bagaimana tindak lanjutnya secara hukum?

19) Apakah SDM KPUD Lamongan dinilai sudah cukup mendukung kinerja KPUD Lamongan?

20) Apakah KPUD Lamongan mendapat tekanan dari DPRD Lamongan?

B. Wawancara dengan Kasubbag Teknis Pemilu dan Hukum KPUD dan Kasubbag Penerangan Masyarakat dan Umum KPUD Lamongan.

1) Apa tugas pokok dan fungsi dari sub bagian teknis Pemilu dan Hukum KPUD Lamongan?

2) Masalah-masalah teknis apa yang terjadi selama proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung dari mulai masa persiapan sampai derngan tahap pelaksanaan?Apa penyebabnya?

3) Apakah ada permasalahan dalam proses pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan ?

4) Apakah terjadi permasalahan dalam penyediaan logistik pilkada di Lamongan?Permasalahan apa saja?Apa penyebabnya?

5) Apakah seluruh unsur yang terkait dengan pilkada mendukung atas upaya penegakan hukum selama penyelenggaraaan pilkada?

6) Pernah terjadi ada pengaduan dari tim sukses salah satu pasangan cabup dan cawabup yang kalah dalam pilkada atas hasil penghitungan suara terakhir tetapi hal ini ditolak. Bagaimana menurut Bapak?

7) KPUD Lamongan telah menunjuk Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk mengaudit pelaporan dana kampanye masing-masing calon. Bagaimana hasilnya?

8) Apa tugas pokok dan fungsi dari sub bagian Penerangan Masyarakat dan Umum KPUD Lamongan?

9) Apakah KPUD Lamongan telah melakukan sosialisasi kepada warga Lamongan tentang penyelenggaraan pilkada?Sosialisasi dalam bentuk apa saja?

10) Bagaimana tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada di Lamongan?

11) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkat partisipasi masyarakat dalam pilkada di Lamongan?

C. Wawancara dengan Ketua Pansus DPRD Kabupaten Lamongan.

1) Bagaimana pendapat Bapak tentang penyelenggaraan pilkada langsung di Lamongan beberapa waktu yang lalu?

2) Apa tugas pokok dan fungsi Pansus DPRD Lamongan dalam pilkada?Bagaimana susunan keanggotaannya?

3) Apakah KPUD Lamongan dan Panwaskab Lamongan yang dibentuk oleh DPRD telah bekerja dengan optimal selama penyelenggaraan pilkada?Apa indikatornya?

4) Apa tindakan dari Pansus DPRD Lamongan apabila kinerja KPUD Lamongan dan Panwaskab Lamongan dinilai kurang optimal?

5) Apakah KPUD Lamongan dan Panwaskab Lamongan telah menyampaikan laporan kegiatan masing-masing?

6) Apa tindak lanjut dari DPRD setelah menerima laporan dari KPUD Lamongan dan Panwaskab Lamongan?

7) Berapa besar dana yang digunakan selama penyelenggaraan pilkada?Apakah jumlah tersebut memberatkan daerah?Dari mana saja sumber dana untuk penyelenggaraan pilkada?Berapa persen yang diambil dari APBN?

8) Bagaimana proses perekrutan anggota KPUD Lamongan?

9) Bagimana proses perekrutan anggota Panwaskab Lamongan?

10) Apakah Pansus DPRD pernah melakukan pengawasan dengan langsung turun di lapangan selama pilkada?

11) Apa saja hasil hearing dengan KPUD Lamongan dan Desk Pilkada Lamongan dalam rangka evaluasi pilkada?

12) Mengapa Pansus DPRD Lamongan berlarut-larut dalam pembentukan Panwascam?

D. Wawancara dengan Ketua Desk Pilkada dan Sekretaris Desk Pilkada Lamongan.

1) Kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Desk Pilkada Lamongan selama penyelenggaraan pilkada di Lamongan?

2) Berdasarkan pengawasan yang dilakukan Desk Pilkada Lamongan, apakah terjadi berbagai pelanggaran selama penyelenggaraan pilkada?Pelanggaran apa saja?

3) Apakah menurut Desk Pilkada Lamongan proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah?

4) Apakah proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung berjalan murni dan bebas dari kecurangan?

5) Apakah terjadi money politics selama penyelenggaraan pilkada?Bukti-bukti apa yang ditemukan?

6) Tindakan apa yang diambil oleh Desk Pilkada Lamongan sehubungan dengan terjadinya money politics?

7) Apakah Desk Pilkada Lamongan dapat menuntut secara hukum kepada pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lamongan apabila terbukti melakukan suatu pelanggaran?

8) Apa yang membedakan antara tugas dan fungsi Desk Pilkada Lamongan dengan Panwaskab Lamongan?

9) Apakah ada hubungan koordinasi antara Desk Pilkada Lamongan dengan Panwaskab Lamongan mengingat kesamaan fungsi dalam pengawasan penyelenggaran pilkada?Koordinasi dalam hal apa saja?

10) Bagaimana seandainya terjadi perbedaan tindakan atau langkah yang diambil atas suatu pelanggaran yang terjadi dalam pilkada antara Desk Pilkada Lamongan dengan Panwaskab Lamongan?

11) Berapa besarnya dana operasional yang diterima Desk Pilkada Lamongan?Apakah jumlah tersebut dinilai cukup untuk kegiatan operasional Desk Pilkada Lamongan?

E. Wawancara dengan Ketua Panwaskab dan Sekretaris Panwaskab Lamongan.

1) Kegiatan-kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Panwaskab Lamongan selama penyelenggaraan pilkada di Lamongan?

2) Bagaimana mekanisme Panwaskab Lamongan apabila menemukan suatu pelanggaran selama pilkada?

3) Apakah proses pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung berjalan murni dan bebas dari kecurangan?

4) Apakah proses pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Lamongan secara langsung telah sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah?

5) Berdasarkan pengawasan yang dilakukan Panwaskab Lamongan, apakah terjadi berbagai pelanggaran selama penyelenggaraan pilkada?Pelanggaran apa saja?

6) Apakah terjadi money politics selama penyelenggaraan pilkada?Bukti-bukti apa yang ditemukan?

7) Tindakan apa yang diambil oleh Panwaskab Lamongan sehubungan dengan terjadinya money politics?

8) Apakah Panwaskab Lamongan dapat menuntut secara hukum kepada pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Lamongan apabila terbukti melakukan suatu pelanggaran?

9) Bagaimana sikap dari Panwaskab atas adanya anggota Panwascam yang bermasalah karena terlibat dalam tim kampanye salah satu bacabup-bacawabup Lamongan?Tindakan apa yang telah diambil?

10) Apakah ada pengaduan mengenai hasil perhitungan suara terakhir dalam pilkada di Lamongan?

11) Apakah Panwaskab Lamongan sudah menyerahkan laporan kegiatan kepada DPRD Lamongan?

12) Tindakan apa yang telah diambil oleh Panwaskab Lamongan atas maraknya posko-posko liar dari masing-masing pendukung pasangan calon?

13) Tindakan apa yang telah diambil oleh Panwaskab Lamongan atas adanya kampanye terselubung di tempat-tempat ibadah?

14) Panwascam telah menemukan adanya kampanye hitam.Tindakan apa yang telah diambil oleh Panwaskab Lamongan menyikapi hal ini?

15) Pernah tersiar kabar bahwa Panwaskab Lamongan mengultimatum Pansus DPRD Lamongan. Ada permasalahan apa?

16) GMNI (Gabungan Mahasiswa Nasional Indonesia) Lamongan pernah menilai Panwaskab Lamongan kurang bertindak tegas atas adanya kampanye terselubung di tempat-tempat ibadah. Bagaimana komentar Bapak?

17) Bagaimana hubungan antara Panwaskab Lamongan dengan Satpol PP Lamongan dalam pilkada?

No comments:

Post a Comment